Dilema Peningkatan Utilitas Industri Keramik Nasional

Asaki mendesak adanya kehadiran pemerintah dan negara
0
117
industri keramik nasional

JAKARTA – Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengungkapkan tingkat utilisasi industri keramik nasional pada kuartal I-2025 menunjukkan perbaikan, yakni meningkat ke level 75% dibanding rata-rata tahun 2024 sebesar 65%. Namun, gangguan suplai gas membuat peningkatan utilitas industri keramik menjadi dilematis.

“Di awal tahun ini Asaki memproyeksi tingkat utilisasi produksi keramik nasional bisa mencapai level 85%, setelah mendapatkan dukungan dari pemerintah berupa PMK Pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD), PMK Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap Impor Produk Ubin Keramik, serta Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib untuk Keramik,” ungkap Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto disela-sela acara ARCH:ID 2025 di ICE BSD, Tangerang, Kamis (8/5).

Namun diakui adanya gangguan suplai gas telah membuat posisi industri keramik nasional dilematis seperti “maju kena mundur kena”. Menurut Edy, kebijakan perpanjangan HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) melalui Kepmen ESDM No. 76 Tahun 2024 bagi tujuh sektor industri meliputi pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet, yang disertai dengan kenaikan harga gas dari US$6,5/mmbtu menjadi US$7/mmbtu (million british thermal unit).

edy suyanto mri

Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto/Foto MRI

Asaki sangat menyayangkan penerapan kebijakan kenaikan harga gas tersebut dan ketentuan ini tidak sesuai dengan harapan industri keramik nasional sepanjang bulan Januari-April 2025 dimana Perusahaan Gas Negara (PGN) menerapkan besaran persentase AGIT (Alokasi Gas Industri Tertentu) yang semakin menurun, baik di Jawa bagian Barat maupun Jawa bagian Timur.

“Besaran AGIT yang menurun itu telah menggerus daya saing industri keramik lokal, karena industri harus terus berproduksi dengan rata-rata biaya gas naik menjadi US$8/mmbtu ke atas. Artinya, kurang lebih 15% lebih mahal dari kebijakan HGBT,” jelas Edy yang juga COO PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) tersebut.

Asaki mendesak adanya kehadiran pemerintah dan negara dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menengahi masalah defisit pasokan gas tersebut, karena sektor industri tidak mungkin bertumbuh tanpa kelancaran pasokan gas. Sektor industri juga tidak mungkin mampu bertahan dengan harga regasifikasi gas US$16,77/mmbtu yang dikenakan oleh PGN.

Edy mengkhawatirkan, ketidakpastian suplai gas dan mahalnya harga surcharge gas atau harga regasifikasi gas akan merusak iklim berinvestasi dan kepastian berusaha di Tanah Air, sehingga mengganggu road map industri keramik yang telah merencanakan ekspansi kapasitas produksi keramik dari 625 juta meter persegi per tahun di akhir tahun 2026 menjadi 850 juta meter persegi per tahun di tahun 2030.

Industri Keramik Nasional Terancam

Sebelumnya, Asaki mewaspadai adanya potensi ancaman lonjakan impor keramik dari China, India dan Vietnam akibat pengalihan ekspor keramik dari negara-negara tersebut ke Amerika Serikat (AS) pasca penerapan tarif timbal balik. AS selama ini melakukan importasi keramik terbesar dari India dan China.

Asosiasi juga mengamati angka impor keramik yang melonjak signifikan dari India pasca diterapkannya BMTP atau safeguard atas keramik impor dari China. Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan ada indikasi unfair trade dari India seperti aksi dumping dan predatory pricing karena mengalami oversupply dan overcapacity.

“Guna memastikan tarif timbal balik (resiprokal) AS tidak memberikan dampak signifikan terhadap industri keramik di dalam negeri, kami berencana memperkuat pasar ekspor ke kawasan Asia Tenggara (ASEAN),” ungkap Edy.

ASEAN merupakan pasar ekspor utama yang strategis karena memiliki populasi besar, yakni sekitar 680 juta jiwa. Dengan populasi yang besar, persentase kebutuhan keramik di ASEAN mencapai 1,2 miliar meter persegi per tahun.

Asaki juga turut mendorong Program 3 Juta Rumah karena akan memberikan multiplier effect bagi industri penunjangnya termasuk industri bahan bangunan seperti ubin keramik, sanitary ware, genteng keramik, dan tableware keramik.

“Asaki berharap dalam pelaksanaan program itu pemerintah tetap konsisten mendorong penerapan alokasi belanja kementerian/lembaga melalui Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN),” harap Edy Suyanto. (MRI)