Pemerintah Percepat Penyusunan Raperpres Badan Bank Tanah

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah mempercepat penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah.
0
200
bank tanah

JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah mempercepat penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah. Percepatan Raperpres ini agar Badan Bank Tanah segera dapat bekerja pada tahun depan.

Raperpres tersebut untuk menindaklanjuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Bank Tanah akan mendukung pemanfaatan tanah bagi kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta Reforma Agraria.

Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil mengatakan pembentukan Badan Bank Tanah merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kelembagaan pertanahan di Indonesia. Menurutnya, berdasarkan peraturan yang ada, BPN selama ini menjadi land regulator. Oleh karena itu, harapannya Badan Bank Tanah mampu menjalankan fungsi sebagai land manager negara.

“Bank Tanah ini harusnya melengkapi lembaga BPN, sehingga ditambah kewenangannya. Maka dibentuk Bank Tanah untuk menjadi land keeper, land manager. Nanti semua tanah yang ditata untuk kepentingan orang banyak, kepentingan sosial, untuk Reforma Agraria, dan lain-lain itu, dikelola oleh Bank Tanah,” ujar Sofyan A. Djalil dalam keterangan persnya, baru-baru ini.

Bank Tanah, jelasnya, akan memberikan kemakmuran kepada masyarakat. Karena itu, dalam UUCK tentang Bank Tanah, disebut bahwa ketersediaan tanah 30% dalam rangka redistribusi.

“Saya akan bicara dengan Presiden RI dalam rapat terbatas (ratas) bahwa salah satu cara menyelesaikan masalah tanah adalah lewat Bank Tanah,” kata Menteri Sofyan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto, menambahkan harmonisasi dilakukan untuk menuntaskan terkait ketentuan penugasan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam organisasi Bank Tanah. Selain itu, terkait ketentuan penetapan tanah pemerintah yang berasal bukan dari Barang Milik Negara (BMN), yakni untuk Reforma Agraria melalui redistribusi tanah.

“Dalam hal ini, tujuan dibentuknya Bank Tanah agar dapat menampung sebagai land keeper tanah-tanah yang bisa dimanfaatkan nantinya untuk berbagai kepentingan. Perpres dan kebijakan ini memang harus keluar sekarang, mengingat waktunya sudah terbatas,” pungkasnya.

Tanah untuk Rumah Rakyat

Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera) Muhammad Joni sebelumnya mengingatkan agar penyusunan regulasi terkait Bank Tanah tidak melenceng dari tujuan awal wacana bank tanah, yakni untuk mengatasi persoalan sulitnya memperoleh lahan untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Dia menyebutkan, bank tanah dan perumahan rakyat itu sejiwa dengan amanat konstitusional untuk bertempat tinggal pasal 28H ayat 1 UUD tahun 1945.

Menurut Joni, selama ini diskursus publik, pendapat ahli termasuk masukan dari The Housing and Urban Development (HUD) Institute mengenai bank tanah sangat kuat mengarah kepada upaya penyediaan tanah untuk perumahan rakyat. Oleh karena itu, dia mewanti-wanti jangan sampai Badan Bank Tanah justru memiliki semangat berbeda dari sejarah perumusannya.

Ide awal pembentukan bank tanah adalah untuk mengatasi gap dan kekosongan di Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dalam hal land management. Terutama, bagi penyediaan perumahan di perkotaan yang sangat krusial dan saat ini sudah menjadi masalah akut.

“Oleh karena itu, semangat ini jangan diabaikan oleh para penyusun regulasi Bank Tanah termasuk Raperpres Badan Bank Tanah ini. Tolong masalah penyediaan tanah untuk hunian masyarakat tidak diacuhkan begitu saja. Sebab, kalau itu terjadi maka sama saja dengan pemerintah melakukan against constitution. Melawan arus utama keinginan publik atau melawan jiwa bangsa (against volk geist),” tegas Joni yang juga Sekretaris Umum The HUD Institute itu kepada Industriproperti.com.

Dia mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan rakyat. Karena bila itu terjadi maka kemungkinan besar akan ada gugatan hukum dari para pegiat dan aktivis perumahan rakyat.

Saat ini,angka backlog perumahan nasional diperkirakan sudah mencapai 13,6 juta unit. Kalau produksi rerata 200 ribu unit per tahun, berarti perlu waktu 68 tahun bagi Indonesia untuk mengatasi defisit perumahan itu.

Oleh karena itu, ungkap Joni, bank tanah sangat tepat menjadi solusi dalam mengatasi backlog. Kemudian jga, mendorong percepatan penyediaan rumah yang layak, terjangkau dan berkeadilan sosial. (MRI)