Pasokan Lahan Industri Baru Stagnan

Meski belum terjadi peningkatan signifikan, beberapa kawasan menunjukkan potensi pertumbuhan yang kuat, terutama Subang, yang dengan cepat muncul sebagai destinasi industri baru.
0
70
Pasokan lahan industri baru di wilayah Jabodetabek belum terjadi peningkatan signifikan.

Jakarta – Pasokan lahan industri baru di wilayah Jabodetabek belum terjadi peningkatan signifikan hingga awal tahun 2025. Dari perspektif sektoral, data center tetap menjadi pendorong utama permintaan lahan, diikuti oleh sektor tekstil, peralatan kantor, bahan bangunan, pengolahan makanan, serta logistik dan pergudangan.

“Meskipun masih di awal tahun, indikator awal menunjukkan bahwa sektor data center dan logistik akan terus menjadi penopang kinerja kawasan industri sepanjang tahun 2025,” ungkap Colliers Indonesia Head of Research Ferry Salanto dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 4 Juni 2025.

Meski belum terjadi peningkatan signifikan, beberapa kawasan menunjukkan potensi pertumbuhan yang kuat—terutama Subang, yang dengan cepat muncul sebagai destinasi industri baru. Kawasan ini berhasil menarik investasi besar dari produsen kendaraan listrik asal China. Kehadiran Pelabuhan Patimban diperkirakan akan semakin memperkuat daya saing Subang sebagai alternatif terhadap pusat-pusat industri tradisional seperti Bekasi dan Karawang.

Colliers Indonesia mencatat, total penjualan lahan industri pada Q1 2025 mencapai 54,06 hektare—mengalami penurunan dibandingkan Q4 2024, namun masih lebih tinggi dibandingkan Q1 pada tahun sebelumnya. Volume transaksi terbesar tercatat di Greenland International Industrial Center (GIIC), dengan penjualan sebesar 14,2 hektare, yang didominasi oleh dua operator data center (12,2 hektare) dan satu perusahaan pengolahan makanan (2 hektare).

Meskipun aktivitas relatif moderat, tren permintaan dan prospek ekspansi di wilayah Jabodetabek tetap menunjukkan perkembangan yang meyakinkan. Minat yang tinggi dari investor global—terutama dari China—yang didukung oleh pertumbuhan di sektor-sektor strategis, merupakan sebuah momentum yang signifikan. Pergeseran geografis dalam pengembangan ke arah timur dan barat Jakarta—termasuk Subang, Karawang, dan Serang—membuka peluang baru bagi kawasan industri untuk siap menangkap gelombang investasi berikutnya.

Namun, ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung antara Amerika Serikat dan China telah memicu perubahan besar dalam lanskap manufaktur global. Pengenaan tarif tinggi terhadap ekspor China ke AS secara signifikan telah meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan yang beroperasi di China. Hal ini mendorong banyak perusahaan multinasional untuk mengevaluasi kembali strategi manufaktur dan distribusi mereka.

Relokasi Lahan Industri

Dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap China dan menekan biaya, sejumlah perusahaan secara aktif mempertimbangkan untuk merelokasikan fasilitas produksi mereka ke negara-negara yang lebih efisien secara biaya dan netral terhadap tarif. Vietnam, Thailand, dan Indonesia muncul sebagai kandidat utama dalam lanskap relokasi yang terus berkembang ini.

Dampak tidak langsung dari pergeseran manufaktur ini sudah mulai dirasakan di pasar properti industri Indonesia. Potensi relokasi dan ekspansi bisnis yang terus berkembang mendorong meningkatnya permintaan terhadap lahan industri, ruang pabrik, dan gudang. Jika tren ini berlanjut, harga lahan industri diperkirakan akan terus meningkat, terutama di kawasan strategis dengan pasokan yang terbatas.

Untuk dapat bersaing secara efektif dan memanfaatkan peluang yang muncul dari penataan ulang rantai pasok global, Indonesia harus melakukan reformasi struktural secara menyeluruh. Penyederhanaan prosedur perizinan, percepatan pembangunan infrastruktur, serta pemberian insentif yang lebih kompetitif merupakan prasyarat penting untuk memperkuat daya saing kawasan industri nasional di tengah meningkatnya persaingan regional. (SAN)