
Ilustrasi (Foto: Freepik)
Jakarta – Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan penurunan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 bps dari 5,25% menjadi 5%. Penurunan BI Rate tersebut dapat menjadi angin segar bagi pertumbuhan sektor properti di Semester II 2025.
“Penurunan BI Rate (menjadi) 5% dampaknya positif kepada sektor properti karena dapat meningkatkan permintaan dengan bunga yang lebih rendah sehingga nanti bunga KPR akan lebih terjangkau sehingga daya beli konsumen, permintaan akan properti akan lebih menarik karena biaya pinjaman lebih murah,” jelas General Manager General Agency Knight Frank Indonesia, Frank Tumewa dalam Online Press Conference “Jakarta Property Highlight H1 2025”, Kamis, 21 Agustus 2025.
Bank Indonesia beralasan penurunan keputusan menurunkan suku bunga acuan tersebut konsisten dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%, terjaganya stabilitas nilai tukar Rupiah, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kapasitas perekonomian.
Bank Indonesia juga mencatat penurunan suku bunga kredit perbankan masih berjalan lambat. Pada Juli 2025, suku bunga kredit tercatat sebesar 9,16%, masih relatif sama dengan bulan sebelumnya. Bank Indonesia memandang suku bunga kredit perbankan perlu terus menurun sehingga dapat mendorong peningkatan penyaluran kredit/pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pada kesempatan yang sama Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menambahkan, pertumbuhan sektor properti sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Pertumbuhan ekonomi Semester II tahun 2025 akan inline dengan pertumbuhan properti. Mengapa demikian? Karena properti ini adalah ketika pertumbuhan ekonomi engine-nya berjalan maka akan memberikan tripping down effect terhadap pertumbuhan sektor properti,” urainya.
Tantangan Investasi Sektor Properti
Daya beli masyarakat merupakan salah satu tantangan yang dihadapi sektor properti saat ini. Untuk investasi properti yang tepat ditengah tantangan yang ada saat ini, kata Frank, secara garis besar banyak faktor yang harus dilihat, seperti lokasi, budget atau dana, kemudian visible.
Selain itu, kata Syarifah, dalam berinvestasi properti harus dilihat tujuannya untuk jangka panjang atau jangka pendek. Selanjutnya adalah melihat potensi market yang ada. Angka backlog yang masih tinggi juga mejadi peluang untuk berinvestasi di sektor properti.
Namun di sisi lain, saat ini terjadi pelemahan daya beli masyarakat, termasuk di kalangan kelas menengah yang menjadi pasar yang cukup besar di sektor properti. “In the same time kelas itu sedang mengalami masa pelemahan daya belinya. Kita perlu melihat segmen yang masih bergerak saat ini ada di sektor yang mana. Kita bisa mention bahwa segmen middle adalah segmen yang terbesar 60%. Segmen high end 1-5%, tapi ini masih cukup bergerak saat ini sebagai investasi untuk leading sector,” tutupnya. (SAN)