Teknologi Efektif Bantu Atasi Masalah Sampah Perkotaan

Sampah langsung dimusnahkan sehingga tidak butuh lahan penimbunan.
0
118
sampah perkotaan pii

JAKARTA – Masalah sampah perkotaan menjadi persoalan klasik yang tak kunjung usai. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyebutkan timbulan sampah nasional pada 2024 mencapai 56,63 juta ton per tahun. Sekitar 21,85% terakomodasi di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan cara penimbunan di tempat terbuka, 25,5% dapat dikelola, sementara lebih dari 40% lagi dibuang ke lingkungan seperti laut, sungai atau lahan kosong.

Saat ini, pola penanganan sampah di Indonesia mayoritas masih mengandalkan sistem utama berupa pembuangan secara terbuka di TPA (open dumping). Hal itu bukan tanpa tantangan, mengingat mayoritas TPA di Indonesia sudah kelebihan beban (overloaded), kondisi tata kelola tidak memadai, lahan yang terbatas, serta rentan menimbulkan pencemaran lingkungan terutama polusi udara akibat bau yang ditimbulkan.

“Kondisi TPA banyak yang tidak memadai dan sangat rentan menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu masih ditemukan lokasi-lokasi yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah ilegal (illegal dumping). Pengelolaan sampah juga masih menjadi beban biaya bagi masayarakat dan pemerintah daerah,” ujar Rasio Ridho Sani, Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup saat menjadi pembicara utama pada talkshow bertema “Optimalisasi Teknologi Pengelolaan Sampah di Tengah Tantangan Sistemik Penanganan Sampah Nasional” untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup di JICC Senayan, Jakarta, Senin (23/6).

Menurutnya, ketersediaan teknologi pengelolaan sampah yang efisien dan efektif sangat dibutuhkan. Terlebih, di dalam transformasi pengelolaan sampah di Indonesia, TPA nantinya hanya disiapkan untuk pengelolaan residu. Bahkan, mulai tahun 2030 tidak ada lagi pembangunan TPA baru.

Menanggapi problematika pengelolaan sampah di Indonesia, Soelaeman Soemawinata, Deputi Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) bidang Rekayasa Sipil dan Lingkungan Terbangun di acara talkshow yang sama mengatakan selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah termasuk sampah perkotaan seperti memilah sampah rumah tangga, sistem daur ulang, pemusnahan sampah dengan insinerator, serta waste to energy (WTE). Namun  ternyata belum cukup efektif untuk menyelesaikan persoalan klasik tersebut.

Di sisi lain, tingkat produksi sampah semakin tinggi karena meningkatnya populasi penduduk, serta banyak daerah yang tidak mampu untuk menyediakan lahan TPA terutama di perkotaan.

“Ini warning bagi kita bahwa saatnya sekarang sampah dikelola secara lebih serius. Selain edukasi ke masyarakat tetap dilanjutkan, yang lebih krusial lagi adalah mencari solusi tepat agar problem sampah dapat diselesaikan secara praktis dan efisien dengan memutuskan rantai penimbunan sampah,” tegasnya.

Upaya mengatasi persoalan sampah turut menjadi komitmen pemerintah. Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas di Istana Merdeka Jakarta, pada awal Juni lalu, telah menginstruksikan akselerasi penanganan sampah lewat skema hulu-hilir dengan melibatkan pemerintah daerah. Kepala negara meminta persoalan sampah terutama sampah perkotaan dapat diselesaikan secara menyeluruh sebelum tahun 2029.

Menurut Eman (demikian dia akrab disapa), guna memutuskan rantai timbunan sampah di TPA yang dianggap kurang efisien, maka sampah harus ditanggani dari hulu yakni dari tingkat lingkungan atau kawasan. Salah satunya melalui penerapan teknologi pengelolaan sampah berskala lingkungan atau kawasan yang berdekatan dengan aktivitas permukiman masyarakat, tetapi aman secara lingkungan. Dengan teknologi seperti ini, maka sampah langsung dimusnahkan sehingga tidak butuh lahan penimbunan.

“PII terpanggil untuk berkontribusi terhadap upaya penanganan sampah nasional dengan menghadirkan satu karya masterpiece yakni mesin pemusnah sampah bernama Autothermix. Teknologi ini telah dioperasikan di Serang (Banten) dan Bandung (Jawa Barat),” paparnya.

Dia menyebutkan, teknologi mesin ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan insinerator lain. Diantaranya tidak menghasilkan limbah B3, biaya operasional hemat karena tidak berbahan bakar fosil), tidak perlu energi tambahan karena mampu menghasilkan suhu hingga lebih dari 1.000 derajat celcius, serta menghasilkan carbon credit untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Beban Sampah Perkotaan

Dengan teknologi buatan anak bangsa tersebut, kata Eman, maka desentralisasi pengolahan sampah dari hulu ke hilir seperti yang diharapkan pemerintah bisa dilakukan yakni dimulai dari tingkat terkecil seperti kawasan perumahan dan permukiman atau di tingkat kecamatan. Penimbunan sampah di luar fasilitas pengelolaan juga dapat dikurangi, sekaligus mengurangi beban areal TPA. Bahkan, dalam jangka panjang TPA diharapkan tidak lagi dibutuhkan.

Berbeda dari pengelolaan sampah di TPA yang memerlukan lahan hingga ribuan hektar untuk menimbun sampah sampai berpuluh-puluh tahun, maka instalasi ini hanya butuh lahan sekitar 300 meter persegi (bisa untuk 2 mesin), dengan kapasitas produksi bisa mencapai 5-10 ton setiap hari tanpa henti (non-stop).

“Oleh karena itu, teknologi ini sangat efektif digunakan oleh daerah-daerah khususnya perkotaan yang tidak memiliki tanah luas untuk lokasi pengelolaan dan penimpunan sampah dalam jangka panjang,” ungkapnya.

Faizal Safa, Deputi Ketua Umum Bidang Industri I PII menyebutkan dari sisi teknologi dalam negeri, ketergantungan pada produk luar negeri masih menjadi hambatan utama. Minimnya dukungan terhadap inovasi lokal membuat solusi dalam negeri kurang berkembang. Padahal, potensi karya anak bangsa sangat besar untuk menjawab tantangan pengelolaan sampah nasional. Sudah saatnya Indonesia berdikari dengan teknologi buatan sendiri yang efektif dan teruji.

“PII menuntut untuk pemerintah pusat dan daerah  bisa menggunakan produk dalam negeri untuk menangani masalah sampah yang kita hadapi, tidak menggunakan produk luar, dan pemerintah harus hadir memastikan hal tersebut. Selama ini tidak ada brand Indonesia dalam teknologi pengolahan sampah, tidak ada inovasi teknologi yang digunakan secara nasional,” ungkapnya.

Budi Permana, Direktur Utama PT. Tohaan Renewable Energy Engineering Budi mengatakan insinyur Indonesia berhasil mengembangkan mesin pemusnah sampah lokal yang hanya membutuhkan 3% energi dibandingkan dengan teknologi sejenis dari negara-negara seperti Jepang, Korea, Cina, atau Eropa yang membutuhkan konsumsi energi jauh lebih besar.

“Teknologi ini tidak hanya efisien, tetapi juga terbukti efektif dengan tingkat pemusnahan sampah mencapai 100%. Sebuah solusi nyata karya anak bangsa yang mampu menjawab tantangan pengelolaan sampah nasional tanpa harus bergantung pada teknologi impor,” tegasnya.

Wiza Hidayat, Ketua BKTI-PII menambahkan bahwa saatnya pendekatan arsitektur hijau memegang peranan penting dalam pengelolaan sampah perkotaan yang berkelanjutan. Prinsip circular economy dapat diterapkan melalui penggunaan kembali material dan efisiensi sumber daya. Hal ini menjadi solusi konkret dalam menghadapi tekanan sampah di kota-kota besar.

“Konsep bangunan hijau tidak hanya fokus pada efisiensi energi, tetapi juga pengelolaan sampah dari sumbernya melalui pemilahan, penggunaan kembali material, hingga penerapan circular economy,” ujarnya. (MRI)