Prahara Putusan MK Soal Pembatalan UU Tapera

Pemangku kepentingan sektor perumahan khawatir munculnya prahara ekosistem pembiayaan perumahan usai Putusan MK membatalkan UU Tapera.
0
467
pembatalan UU Tapera

Jakarta – Pemangku kepentingan sektor perumahan khawatir munculnya prahara ekosistem pembiayaan perumahan seiring pembatalan UU Tapera yang diputuskan hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

“Putusan MK itu bisa menjadi prahara. Bagi pekerja mandiri dan pekerja informal, putusan MK itu merupakan angin segar karena ada delay pelaksanaan tapera. Tapi putusan itu juga mengancam ekosistem pembiayaan perumahan karena ketiadaan alternatif pembiayaan perumahan. Mestinya ada transformasi sistem pembiayaan perumahan,” tutur advokat Muhammad Joni, saat dihubungi industriproperti.com, Rabu, 1 Oktober 2025.

Joni menyebutkan bahwa Putusan MK Nomor 96/PUU-XXII/2024 bukan sekadar angka satu perkara. “Ini adalah garis tegas bahwa negara tidak boleh lagi memaksakan kewajiban Tapera yang memberatkan pekerja dan pekerja mandiri, walau atas nama wibawa UU,” tegasnya.

Dia menegaskan, ini bukan yang pertama kalinya MK menegur negara untuk tidak gegabah dalam menetapkan pungutan terhadap rakyatnya. “Dalam putusan-putusan sebelumnya, Mahkamah menegaskan prinsip: setiap pungutan wajib harus punya dasar konstitusional, tujuan jelas, dan manfaat nyata,” tukasnya.

Putusan MK terkait pembatalan UU Tapera itu seolah alarm moral karena negara diingatkan agar melahirkan regulasi yang sensitif terhadap rakyat, aparatur harus melayani dengan empati, kelembagaan harus terbuka dan representatif. “Jika 50 juta pekerja formal dikenakan Tapera, terkumpul Rp60 triliun per tahun. Angka besar, tapi tanpa kontrol publik, sehingga ‘danau dana’ itu sangat rawan penyimpangan,” ucap Joni.

“Tapera tanpa wakil dari publik, pekerja dan pemberi kerja, tapi menjadi pembayar wajib iuran Tapera. Padahal dana Tapera bukan bersumber dari APBN, melainkan dana amanat. Dana Tapera bersumber dari pekerja dan pemberi kerja maka tidak elok dan tidak adil adanya klaim BP Tapera seakan menjadi organ investasi pemerintah,” tandasnya.

Pendapat senada dilontarkan Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto. Dia menyatakan, sejak awal lahirnya UU Tapera, pihaknya menentang regulasi tersebut. “UU Tapera ini menjadi heboh karena BP Tapera memaksakan pekerja harus ikut serta menjadi peserta Tapera. Seharusnya, setelah aparatur sipil negara (ASN), BP Tapera menyasar calon debitur yakni TNI dan Polri. Baru belakangan pekerja mandiri dan pekerja informal lainnya,” tutur Zulfi.

Putusan perkara nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait pembatalan UU Tapera yang diajukan Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, dibacakan hakim konstitusi, Senin, 29 September 2025. Putusan MK tersebut dinilai konsisten membela rakyat dari regulasi yang berwajah pungutan. Negara boleh memungut, tapi harus adil, transparan, dan berorientasi pelayanan, bukan sekadar memperbesar dana kelolaan.

“Putusan MK hadir seperti senja memerah yang mengingatkan negara bahwa fajar keadilan hanya mungkin bila regulasi lahir dari empati,” lanjut Joni.

“Bayangkan, buruh pabrik menunda susu anaknya demi bisa patuh bayar iuran Tapera. Pedagang kaki lima sebagai pekerja mandiri tanpa fasilitas negara mengencangkan ikat pinggang karena uang jerih payah dagangan terpangkas. Ojek daring menghela napas panjang saat saldo rekeningnya menyusut. Semua menanti rumah sederhana yang tetap jadi bayangan jauh,” keluhnya.

Momentum Evaluasi Usai Pembatalan UU Tapera

Pemangku kepentingan bersepakat bahwa Putusan MK menjadi momentum yang tepat bagi BP Tapera melakukan koordinasi dengan seluruh ekosistem perumahan nasional. Konsolidasi dengan melibatkan lintas kementerian/lembaga baik formal maupun lembaga informal juga diperlukan demi memperkuat fungsi dan peranan BP Tapera di masa mendatang.

pembatalan uu tapera

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

“Putusan MK terkait pembatalan UU Tapera yang memberikan tenggat waktu dua tahun harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. BP Tapera jangan dulu berpikir menyiasati kemungkinan anjloknya dana kelolaan. Benahi saja dulu tugas pokok dan fungsinya, jangan dulu memikirkan kewenangan kekuasaan. Sekarang waktu yang tepat untuk melakukan harmonisasi UU Tapera bersama Asabri dan Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) agar prajurit TNI dan Polri bisa menjadi peserta Tapera,” ucap Zulfi.

Zulfi juga mengusulkan dibentuknya lembaga offtaker bidang perumahan yang beranggotakan Perumnas, PT. Sarana Multigriya Finansial (Persero), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), serta PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero). “Harus ada offtaker bidang perumahan yang bertugas menentukan spesifikasi hunian. Sedangkan yang membangun perumahan bisa developer dari pihak swasta, koperasi, BUMN, atau masyarakat. Kompetisinya nanti adalah inovasi desain bangunan karena harga tanah akan dikendalikan oleh pemerintah melalui Badan Bank Tanah,” tukasnya. (BRN)