Stimulus tak Cukup, Investasi Properti Masih Terganjal Perizinan

JAKARTA – Realestat Indonesia atau REI menyebutkan di tengah berbagai stimulus yang diberikan pemerintah kepada sektor properti, berbagai kendala perizinan masih menghambat iklim investasi properti. Asosiasi pun mendesak pemerintah turun tangan untuk menuntaskan hambatan tersebut agar kontribusi sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi nasional meningkat.
Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto menegaskan bahwa pemerintah saat ini telah memberikan perhatian besar terhadap sektor properti, sehingga stimulus yang diberikan banyak sekali. Hal itu sejalan pula dengan target peme rintahan Presiden Prabowo Subianto yang membidik target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% hingga tahun 2029, sehingga patut dijaga dan mendapat dukungan berbagai pihak.
“Kami berterimakasih atas akomodasi pemerintah bagi sektor properti yang banyak sekali bahkan surplus. Pasar menerima itu dengan positif dari mulai program 3 juta rumah, perpanjangan PPN DTP, penyaluran KUR Perumahan, serta penambahan kuota FLPP,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (19/11).
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga selalu mendorong sektor swasta bertumbuh diantaranya melalui keputusan menggunakan dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) agar masuk ke sistem perbankan dalam bentuk penyaluran kredit, sehingga sektor usaha bergerak.
Begitu pula Kredit Program Perumahan atau KUR Perumahan yang sekarang sedang bergulir. Saat ini, ungkap Joko Suranto, ada sekitar 700 pengembang anggota REI yang tengah berproses untuk memperoleh KUR Perumahan dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.
Namun di tengah guyuran stimulus ekonomi yang cukup banyak dari pemerintah tersebut, sektor properti masih dihadapkan kepada berbagai kendala perizinan yang menganggu investasi.
Berdasarkan laporan dari 16 Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI disampaikan bahwa investasi properti yang terhenti (mandek) akibat hambatan perizinan mencapai 306 proyek, dengan total lahan 6.178 hektar serta potensi investasi senilai Rp34,5 triliun. Permasalahan perizinan beragam dari soal OSS, Amdal, tata ruang termasuk Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan lain-lain.
“Itu baru laporan dari 16 DPD saja, karena ada 21 DPD REI lagi yang masih dalam pemetaan. DPP REI telah berkoordinasi dan melaporkan secara surat tertulis mengenai hambatan perizinan ini kepada 7 instansi kementerian/lembaga negara yang terkait sektor properti,” tegas CEO Buana Kassiti Group itu.
Joko Suranto menyebutkan, jika Rp34,5 triliun dibagi 16 (DPD) maka potensi investasi yang hilang dari setiap DPD/daerah mencapai sekitar Rp2 triliun. Bahkan kalau ditambah 21 DPD lagi, maka potensial investasi yang terhenti mencapai sekitar Rp55,5 triliun. Selain itu, setiap satu proyek properti dapat mempekerjakan 100 tenaga kerja, sehingga dari 306 proyek yang terhenti karena terkendala perizinan tersebut ada potensi lapangan kerja bagi 30.600 orang tenaga kerja.
“Ini semua sebuah potensi besar untuk memacu dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kami berharap pemerintah bisa menjembatani hambatan perizinan ini, mengingat perizinan properti bersifat lintas Kementerian,” jelas Ketum REI.
Riset yang dilakukan REI dan Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (LM UI) mengungkap bahwa setiap investasi properti sebesar Rp112 triliun mampu berkontribusi sebesar 0,56% terhadap perekonomian nasional. Kontribusi itu, ungkap Joko Suranto, akan semakin tinggi jika perizinan properti yang kini tersebar di 7 kementerian/lembaga negara dapat dijaga secara lebih baik.
Intensifkan Koordinasi
Dia menambahkan, penyelesaian cepat terhadap berbagai kendala perizinan properti ini juga akan berpengaruh terhadap penyerapan KUR Perumahan sebesar Rp130 triliun di tahun 2025. Perizinan yang baik juga akan memengaruhi realisasi penyaluran kuota FLPP tahun ini sebanyak 350.000 unit.
“DPP REI sudah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait terkait kendala perizinan ini, dan beliau menyatakan siap membantu 306 proyek anggota kami yang terhambat perizinan tadi,” ungkap Joko Suranto.
Selain Menteri PKP, DPP REI juga sudah berkomunikasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid berkaitan masalah kendala tata ruang dan LSD. Hasilnya, disampaikan rencana dibukanya kembali perizinan LSD di 140 kota. DPP REI segera mengirimkan surat dan data lengkap kepada Menteri ATR/BPN, sekaligus masukan mengenai kebijakan LSD.
“Kendala LSD ini prinsipnya sedang berproses. Kita mendukung upaya ketahanan dan swasembada pangan yang ingin dicapai pemerintah sesuai tantangan bangsa di masa mendatang,” tegas Ketum REI.
Meski begitu, angka backlog perumahan sebesar 9,9 juta unit, rumah tidak layak huni (rutilahu) 26 juta dan sekitar 56% penduduk akan tinggal di perkotaan pada 2035 juga patut mendapat perhatian besar dari pemerintah.
Sementara itu, terkait penyerapan kuota FLPP yang baru sekitar 60% per September 2025, Ketum REI mengatakan sejak awal pihaknya sudah memperhitungkan capaian target tersebut, sehingga REI mendorong kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan mengingat 76% dari penyerap kuota FLPP adalah peserta BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, rata-rata pengguna KPR FLPP ada pekerja berpenghasilan tetap (fix income), dimana peserta BPJS Ketenagakerjaan mayoritas adalah karyawan perusahaan.
REI juga sangat mendorong pembangunan 2 juta rumah di pedesaan dan pesisir yang menjadi bagian dari Program 3 Juta Rumah. Menurut Joko Suranto, pemerintah sebenarnya hanya butuh membelanjakan anggaran sebesar Rp14,4 triliun untuk angsuran rumah masyarakat pedesaan, tetapi ada potensi pergerakan ekonomi hingga Rp160 triliun yang bisa bergerak dan masuk ke desa.
“Jumlah desa kita ada 84.000, berarti berapa tenaga kerja yang dapat terserap di desa, berapa manufaktur penunjang perumahan yang akan tumbuh di desa? Kalau setiap desa ada dua saja enterpreneur di bidang penunjang usaha properti, maka ada 160.000 enterpreneur yang bergerak usahanya. Ini kan sesuatu yang memang diharap-harapkan pemerintah,” jelasnya.
Lebih jauh, dengan masyarakat desa memiliki rumah yang layak unik maka mereka telah memiliki aset yang bisa dijadikan agunan ke bank untuk mendapatkan kredit usaha. Dampaknya, semakin banyak perbankan yang akan memperluas jaringannya hingga ke pelosok desa, sekaligus menghindari masyarakat pedesaan dari rentenir.
“Bank akan berlomba-lomba masuk ke desa untuk menyalurkan kredit usaha dan ekonomi desa semakin bertumbuh dan pada saatnya berpotensi menjadi pasar bagi produk properti juga,” sebut Ketum REI. (MRI)





