
Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Jakarta – Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menyatakan menghormati dan menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pada Putusan Nomor: 96/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Senin, 29 September 2025, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa sejumlah ketentuan dalam UU Tapera itu perlu ditata ulang agar selaras dengan amanat konstitusi. MK menyoroti prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Untuk itu MK memberikan batas waktu paling lambat dua tahun untuk penataan ulang UU Tapera sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“BP Tapera menghormati sepenuhnya keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai badan hukum yang selalu menjunjung tinggi dan taat pada hukum,” papar Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho, dalam siaran persnya, yang dikutip Rabu, 1 Oktober 2025.
Heru menjelaskan, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait yang menjadi unsur Komite Tapera. “Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) serta pemangku kepentingan lainnya agar pelaksanaan tugas BP Tapera tetap selaras dengan ketentuan perundangan. Namun dengan desain yang lebih tepat sehingga tujuan menyediakan hunian layak dan terjangkau bagi masyarakat tidak menjadi beban tambahan bagi pekerja maupun pemberi kerja serta selaras dengan putusan MK,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua MK Suhartoyo, menegaskan bahwa konsep tabungan yang bersifat sukarela dalam UU Tapera itu tidak dapat dijadikan dasar kewajiban dengan unsur pemaksaan. Pada Pasal 7 ayat (1) UU Tapera mengatur kewajiban seluruh pekerja, termasuk pekerja mandiri, untuk menjadi peserta program. Kewajiban tersebut menambah potongan dari penghasilan pekerja yang sebelumnya sudah terbebani iuran jaminan sosial lain.
“Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran NRI tahun 2016 No 55 tambahan lembaran negara NRI No 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan,” kata Suhartoyo saat pembacaan putusannya.
Konstitusionalitas beleid tersebut dipersoalkan, terutama norma pada Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) UU Tapera. Tenggat waktu dua tahun diberikan kepada eksekutif dan legislatif guna menyusun regulasi baru mengenai pembiayaan perumahan dengan prinsip yang lebih adil, tidak diskriminatif, serta harus sejalan dengan konstitusi.
Evaluasi UU Tapera
Lebih lanjut, BP Tapera memandang putusan MK ini sebagai momentum penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas desain kelembagaan dan mekanisme operasional Tapera dalam waktu dua tahun. Prinsip keadilan, keberlanjutan, dan manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), akan menjadi pertimbangan utama dalam proses penataan ulang yang akan dilakukan pemerintah bersama DPR RI.
BP Tapera juga memastikan bahwa seluruh kegiatan operasional, layanan, pengelolaan dana, maupun hak-hak peserta yang sudah ada akan tetap dijalankan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan selama masa transisi penataan ulang dengan memperhatikan putusan MK. Sebagai Operator Investasi Pemerintah (OIP) BP Tapera tetap menjalankan fungsinya untuk mengoptimalkan dana FLPP sehingga dapat memfasilitasi MBR dalam mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau melalui program rumah subsidi KPR Sejahtera FLPP.
“Yang paling penting adalah menjaga kepercayaan masyarakat. BP Tapera berkomitmen memastikan pengelolaan dana tetap transparan, akuntabel, dan aman selama masa transisi dua tahun sebagaimana ditetapkan MK. Sebagai informasi, hingga saat ini belum ada aktifitas penghimpunan tabungan yang dilakukan oleh BP Tapera baik yang sifatnya wajib maupun sukarela (mandiri),” tambah Heru.
Sebagai lembaga yang diberi mandat negara, BP Tapera menegaskan komitmennya untuk terus hadir sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam menjamin akses masyarakat terhadap hunian layak, terjangkau, dan berkelanjutan.
MK menilai norma ini berpotensi mengurangi penghasilan pekerja dan membebani pemberi kerja. Selain itu, pekerja yang telah memiliki rumah tetap diwajibkan mengikuti program, sehingga menimbulkan perlakuan tidak adil.
Mahkamah juga menyoroti adanya duplikasi dengan program pembiayaan perumahan yang telah berjalan. Negara sebelumnya sudah memiliki skema melalui BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, Asabri, maupun fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) perbankan. Keberadaan Tapera dapat menimbulkan tumpang tindih kebijakan. (BRN)