REI: Konsep TOD Jabodetabek Perlu Diperjelas!

Perlu penguatan dari sisi konsep, aturan zonasi dan regulasi pengaturan tata ruang
0
791

JAKARTA – Pengembangan perkotaan berbasis transportasi massal atau Transit Oriented Development (TOD) diyakini akan memacu pertumbuhan bisnis properti di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Namun, konsep pengembangan kawasan TOD di Jabodetabek saat ini belum didukung aturan regulasi yang jelas.

Pengembangan kota berbasis TOD sudah diterapkan di kota-kota besar dunia seperti Tokyo di Jepang, Seoul di Korea, Hongkong, Singapura, dan kota-kota di Eropa atau Amerika Serikat. Di Jakarta, konsep TOD bakal menjadi tren ke depan terlebih pasca rampungnya pembangunan proyek mass rapid transit (MRT), light rapid transit (LRT) dan kereta api cepat. Saat ini, Jakarta juga sudah tersambung dengan wilayah sekitarnya (Bodetabek) melalui KRL Commuterline.

Sebenarnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sudah melakukan penataan pemanfaatan ruang dan pengelolaan pertanahan di wilayah yang akan dikembangkan menjadi kawasan TOD lewat Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit.

Selain itu, di dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur) juga telah ditetapkan 24 kawasan TOD di kawasan Jabodetabek.

Namun, regulasi-regulasi tersebut tidak rinci dan belum jelas mengatur tentang konsep TOD yang akan dikembangkan termasuk di Jakarta.

“Harus diakui sampai saat ini riil konsep TOD di Jabodetabek itu belum ada. Yang ada hanya pengembang membangun apartemen atau hunian di samping stasiun MRT, LRT atau KRL Commuterline,” ujar Sekretaris Jenderal DPP Realestat Indonesia (REI), Hari Ganie kepada Industriproperti.com.

Sekjen DPP REI, Hari Ganie

Padahal, konsep TOD tidak sesederhana itu. Menurutnya, kawasan TOD sejatinya tidak hanya sebatas lahan di inti stasiun, tetapi juga menyangkut kawasan di sekitarnya dengan radius tertentu mungkin antara 600 meter hingga 8 kilometer.

Oleh karena itu, pengembangan properti dengan basis TOD perlu penguatan dari sisi konsep, aturan zonasi dan regulasi pengaturan tata ruangnya. Misalnya aturan mengenai pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah, dimana kemungkinan semua daerah di Bodetabek belum memilikinya. Sementara di Jakarta seharusnya telah ada, atau setidaknya sedang dibuat aturannya.

“Jangan lupa bahwa TOD yang akan dijalankan itu adalah TOD Jabotabek, jadi ada di wilayah DKI Jakarta dan non-DKI Jakarta. Itu kenapa kita patut pertanyakan apakah misalnya seperti Bekasi dan Depok itu regulasi tata ruangnya sudah siap?,” tanya Hari Ganie.

TOD merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan memaksimalkan penggunaan transportasi massal untuk mobilisasi masyarakat. Orientasi ini membuat fokus pengembangan kota termasuk hunian diutamakan di titik-titik sepanjang jalur transportasi massal.

Terencana dan Jelas

REI mendorong konsep pengembangan TOD yang ingin digalakkan pemerintah lebih diperjelas dan diperinci regulasinya, sehingga dapat menarik minat pelaku usaha properti. Hari Ganie menegaskan, semakin banyak daerah yang memiliki pemahaman untuk merencanakan kawasan TOD termasuk dengan memberikan kemudahan perizinan kepada swasta maka akan mempercepat terwujudnya kawasan berbasis transportasi massal.

“Pengembangan kawasan TOD yang terencana secara baik dan jelas akan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, meningkatkan kualitas tata ruang kota dan juga memacu pengembangan properti terutama proyek hunian (apartemen) di jalur TOD,” ujar alumni Teknik Planologi ITB itu.

Dia mengakui belum banyak pengembang anggota REI yang memahami konsep TOD yang akan dikembangkan pemerintah. Padahal, selama ini cukup banyak anggota REI yang sudah membangun hunian di dekat stasiun tranportasi massal termasuk MRT.

Lebih jauh, dia berpendapat bahwa pengembangan TOD seharusnya tidak hanya menyangkut persoalan transportasi, tetapi juga terkait dengan urban development. Diantaranya masalah perizinan, pembebasan dan kepemilikan tanah, analisa dampak lingkungan dan lain-lain. Hal ini penting sebelum pemerintah menerapkan konsep TOD.

Hal terpenting lain, kata Hari Ganie, TOD adalah pengembangan properti campuran atau mixed use development yang terdiri dari perumahan, kawasan komersial, perkantoran dan sebagainya. Tetapi berada di dalam kawasan stasiun transportasi massal yang ada jam operasionalnya. Karena itu, butuh mekanisme koordinasi, karena pengelola stasiun dan pemilik properti adalah institusi yang berbeda.

“Semua masalah ini butuh koordinasi yang baik. REI selalu siap jika diajak terlibat dalam pembahasan detail mengenai konsep kawasan TOD terutama di Jabodetabek,” pungkasnya. (MRI)