Pembentukan BPRA Percepat Distribusi Tanah Rakyat

Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan akses terhadap lahan ditengah maraknya konflik dan ketimpangan penguasaan.
0
34
Pembentukan BPRA Percepat Distribusi Tanah Rakyat

Jakarta – Ironi yang terjadi saat ini adalah sulitnya rakyat memiliki tanah. Sebaliknya, pemerintah dan korporasi justru lebih mudah mendapatkannya. Ketua Dewan Penasihat Great Institute, Moh Jumhur Hidayat menyebut, ketimpangan kepemilikan tanah saat ini sangat besar.

“Indeks Gini penguasaan tanah mencapai 0,78. Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” ucap Jumhur saat membuka FGD Reforma Agraria di Jakarta, Rabu, 10 September 2025.

Pada kesempatan yang sama, Anggota DPR RI Ahmad Irawan mengungkapkan rasio Gini pertanahan Indonesia termasuk yang terburuk di kawasan ASEAN, yakni berkisar antara 0,6–0,7. Selain itu, regulasi pertanahan masih dibuat sepihak dengan minimnya otoritas kementerian terkait.

“Peraturan dibuat sepihak, ATR/BPN tidak punya otoritas penuh. Ada 2.350 desa yang secara hukum masih dianggap kawasan hutan, padahal masyarakat sudah tinggal di sana jauh sebelum republik ini berdiri,” katanya.

Untuk itu, keberadaan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan akses terhadap lahan ditengah maraknya konflik dan ketimpangan penguasaan. “Badan Pelaksana Reforma Agraria ini satu pendekatan instrumental kelembagaan yang menurut saya relevan dan sangat dibutuhkan. Kenapa? Karena kita tidak punya satu single authority yang bisa mengeksekusi ini secara cepat dan efektif,” imbuhnya.

Pembahasan juga menyasar mengenai Bank Tanah yang kemukakan oleh Kepala Divisi Perolehan Tanah, Yagus Suyadi. Ia mengatakan pembentukan badan bank tanah pada prinsipnya adalah melengkapi tugas dan fungsi dari Kementerian ATR/BPN.

“Perlu kami tegaskan di sini yang diatur itu bukan tanah hak, tetapi tanah negara. Yang dikelola oleh badan bank tanah itu bukan untuknya. Yang dikelola oleh badan bank tanah itu bukan untuk profit tetapi dalam rangka untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan,” ucap Yagus.

Namun, keberadaan Bank Tanah dikritik oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Menurutnya, kehadiran bank tanah bukan merupakan sebuah solusi. “Bank Tanah ini bagian dari masalah, bukan solusi. Ia lahir dari Ciptaker, dan mencampuradukkan Reforma Agraria dengan pengadaan tanah untuk korporasi besar,” kata Dewi.

Sementara Researcher Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lilis Mulyani menyampaikan, BPRA dalam konsepnya masih berkutat pada pengadaan lahannya, belum ke tata perubahan tata niaganya, tata kelolanya dan tata produksinya.

BPRA di Bawah Presiden

Sekjen KPA Dewi Kartika menambahkan, BPRA yang sudah diusulkan sejak masa awal reformasi sampai dengan saat ini langsung dibawah Presiden. “Gerakan reforma agraria untuk mendorong badan otorita reforma agraria atau badan pelaksana reforma agraria yang langsung dipimpin presiden itu selalu ditolak, selalu mentok, dan kembali lagi dikembalikan ke kementerian-kementerian lembaga terkait” katanya.

Dalam kesempatan yang sama Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN Agung Indrajit menekankan pentingnya Land Administration Domain Model (LADM) untuk mengurangi asimetri informasi dalam pertanahan. “Tanah tidak sekadar soal regulasi, tapi juga data. Data harus transparan, interoperable, agar tidak ada lagi permainan informasi,” ujar Agung.

Arwin Lubis alias Ucok, aktivis pertanahan sejak 1980-an, mengingatkan kembali prinsip UUPA 1960: tanah bukan milik raja, bukan pula milik negara, melainkan hak rakyat. “Negara tidak bisa menjual tanah. Negara hanya boleh mengambil bea atas layanan keagrariaan,” kata Arwin.

Adapun Diskusi bertema “Reforma Agraria dalam Konteks Perkotaan dan Pedesaan: Ketimpangan, Hak Ulayat, Tata Ruang, dan Badan Pelaksana Reforma Agraria” itu menghadirkan sejumlah nama penting, seperti Moh Jumhur Hidayat, Dr Yagus Suyadi dari Bank Tanah, Ahmad Irawan SH, MH dari Komisi II DPR RI, Dr Agung Indrajit dari Otorita IKN, Dr Bayu Eka Yulian dari IPB, Dr Lilis Mulyani dari BRIN, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika; Agustiana dari Serikat Petani Jawa Barat, aktivis “bangkotan” untuk urusan agrarian dan konfliknya, Arwin Lubis, serta peneliti Great Institute, Ir Hendry Harmen, MT. (SAN)