Jakarta – Penyediaan hunian vertikal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat menjadi salah satu solusi masalah hunian di perkotaan DKI Jakarta. Ada empat key point yang menjadi tantangan dalam penyediaan hunian vertikal bagi MBR di Jakarta, yaitu demand, feasibility, suplai dan development configuration.
“Demand saat ini cukup terbatas sehingga para pengembang harus mengatur strategi untuk menciptakan produk yang tepat sasaran,” kata Head of Research JLL Indonesia Yunus Karim dalam Webinar Urban Dialogue #6 ‘Tantangan Penyediaan Hunian Vertikal di Jakarta’ yang diselenggarakan oleh IAP DKI Jakarta pada Kamis, 24 Agustus 2023.
Pada kesempatan yang sama Dirut Sarana Jaya Andira Reoputra mengatakan Potensi Penyediaan Hunian Terjangkau oleh BUMD dan Swasta/BUMN pada Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2023-2026 mencapai 9.080 unit.
Sementara, jumlah unit dari dua lokasi hunian vertikal yang dikembangkan Sarana Jaya di dua lokasi di Jakarta, yaitu Nuansa Pondok Kelapa dan Nuansa Cilangkap hanya 2.568 unit.
“Kemudian total unit hunian terjangkau next project itu 2.690 unit dan total unit yang sudah terbangun dan next project adalah ±57,9%, yaitu 5.258 unit,” jelas Andira.
Dia menjelaskan, jumlah backlog perumahan di DKI Jakarta ada di angka 1.388.743 unit. Sementara jumlah MBR di DKI Jakarta kurang lebih 250 ribu orang dan Jumlah KK (kepala keluarga) pendaftar hunian terjangkau kurang lebih 50.699.
“Artinya dalam penyediaan hunian perumahan ini secara bisnis masih sebuah peluang yang sangat menarik, tapi harus ikut serta seluruh sektor tadi, yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah yang benar-benar bisa membantu proses penyediaan perumahan bagi MBR,” terangnya.
Tantangan Berikutnya
Sejumlah tantangan lainnya yang dihadapi dalam penyediaan hunian vertikal bagi MBR di Jakarta juga diutarakan oleh Direktorat Rumah Susun PUPR Manda Machyus, antara lain aspek suplai dan demand, regulasi, pembiayaan, pembangunan, sistem dan pemeliharaan.
“Untuk rumah susun milik yang dibangun pengembang sampai saat ini tantangan terbesar adalah modal untuk membangun. Pasca pandemi minat dari investor untuk membangun masih tertatih-tatih,” ucap Manda.
Tantangan berikutnya dalam pembangunan rumah susun milik adalah administrasi dan perizinan membutuhkan waktu yang lama, mahalnya biaya pengadaan lahan, serta target pembangunan dan minat masyarakat masih didominasi rumah tapak.
Sementara tantangan dan kendala pembangunan rusun sewa yang dibangun oleh pemerintah, antara lain keterbatasan lahan BMN/D untuk pembangunan rumah susun sewa, keterbatasan anggaran (APBN/D) untuk pembangunan rumah susun sewa dan penghuni rumah susun yang belum terbiasa dengan konsep hunian vertical.
Tantangan lainnya adalah biaya nyata pengelolaan yang tinggi tidak diimbangi dengan besar pemasukan hasil sewa penghuni rusun sehingga pemerintah perlu mengeluarkan subsidi yang tinggi serta pengelolaan menjadi tidak maksimal.
Sejatinya, jelas Manda, banyak manfaat yang bisa didapatkan dari pembangunan rumah susun, di antaranya adalah ditujukan untuk MBR berpendapatan kurang dari Rp8 juta per bulan dan meningkatkan derajat kesejahteraan.
Pembangunan rumah susun juga akan memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan produktifitas tenaga kerja. Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pembangunan di sektor riil.
Manfaat berikutnya dari pembangunan rumah susun adalah efisiensi dan efektifitas pemanfaatan tanah serta lahan. Kemudian, efisiensi prasarana dan sarana efisiensi biaya, waktu perjalanan dan tenaga. (SAN)