Pemda Diingatkan Hati-hati Lakukan Penyusunan RDTR Lewat OSS

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi hal krusial sebagai acuan dalam pemberian perizinan berusaha. Terlebih, dengan adanya Online Single Submission (OSS).
0
2537
RDTR

JAKARTA – Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi hal krusial sebagai acuan dalam pemberian perizinan berusaha. Terlebih, dengan adanya Online Single Submission (OSS), maka pelaku usaha yang akan mendirikan usaha di suatu daerah diharuskan memerhatikan kesesuaian pemanfaatan ruang berdasarkan RDTR.

RDTR merupakan amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) untuk segera disusun dan dibuat oleh pemerintah daerah.

“Terlebih untuk wilayah-wilayah yang mempunyai potensi daerah dan diproyeksikan ekonomi akan bertumbuh di sana,” ungkap Plt. Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Abdul Kamarzuki dalam keterangan persnya, Jumat (18/3/2022).

Oleh karena sangat penting, Abdul Kamarzuki mengingatkan agar penyusunan RDTR lewat sistem elektronik terintegrasi atau OSS berlangsung secara tepat dan berhati-hati. Jika tidak, maka akan mempersulit pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan.

Abdul Kamarzuki

“Kalau RDTR sudah masuk ke dalam sistem dan ada perizinan yang tidak sesuai pemanfaatan ruangnya, maka sistem akan otomatis menolak. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak dapat mengubah hal tersebut,” jelas dia.

Meski ke depannya, menurut Abdul Kamarzuki, revisi RDTR tanpa harus menunggu jangka waktu lima tahun. Namun revisi itu harus sepengetahuan kepala daerah, karena RDTR penetapannya melalui peraturan kepala daerah.

Kendala KKPR

Keberadaan RDTR yang terintegrasi dengan OSS dalam UUCK berkaitan dengan perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sehingga harapannya akan mempermudah iklim investasi. Istilah KKPR dulu banyak yang mengenalnya dengan istilah Izin Lokasi. Pengurusan izin terebut pada saat akan melakukan kegiatan usaha termasuk pengembangan kawasan perumahan.

Ketentuan KKPR ini mengacu kepada RDTR di setiap daerah. Bagi daerah yang telah memiliki RDTR, maka pelaku usaha maupun non-berusaha dapat menggunakan Konfirmasi KKPR, namun bagi daerah yang belum memilliki RDTR dapat menggunakan Persetujuan KKPR.

“Konfirmasi itu kalau ada permohonan. Jadi pelaku usaha memohon kegiatannya dilaksanakan di kawasan yang ada RDTR-nya, dan sudah terintegrasi dengan OSS maka terbit konfirmasi. Tapi di daerah yang belum ada RDTR, maka harus melalui persetujuan KKPR dulu jadi sebelum memperoleh izin lainnya,” jelas Abdul Kamarzuki.

Namun, masalah muncul karena saat ini daerah kabupaten/kota yang sudah memiliki RDTR masih sangat minim. Dari sekitar 514 kabupaten/kota yang ada, perkiraannya baru sekitar 30% yang sudah memiliki RDTR.

“Kalau satu kota misalnya butuh 3 RDTR, maka seharusnya ada sekitar 1.500 RDTR. Tapi sekarang ini mungkin baru ada sekitar 50-60 RDTR yang tersedia. Kalau begitu kondisinya, bagaimana pelaku usaha bisa mendapatkan KKPR tanpa RTDR?,” tanya Hari Ganie, Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Koordinator bidang Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan kepada Majalah RealEstat Indonesia, baru-baru ini.

Menurutnya, alasan daerah belum memiliki RDTR beragam dari tidak punya anggaran cukup hingga sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Oleh karena itu, REI menilai butuh perhatian dan keterlibatan pemerintah pusat lebih serius terhadap kendala penyusunan RDTR di daerah. (MRI)