
Sidang uji materiil UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Foto: Mahkamah Konstitusi)
Jakarta – Pemilik unit kondominium hotel (kondotel) mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun). Permohonan dengan registrasi perkara Nomor: 62/PUU-XX/2022 ini mengklaim penerapan UU Rusun menabrak hak konstitusi para pemohon.
“Kondotel memiliki konsep kepemilikan yang sama dengan rusun yakni bangunan gedung bertingkat dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang terstruktur secara fungsional,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Aulia Khasanofa dalam sidang pendahuluan uji materiil UU Rusun, di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 8 Juni 2022.
Pemohon uji materiil yakni Rini Wulandari selaku Pemohon I, Hesti Br Ginting (Pemohon II), Budiman Widyatmoko (Pemohon III), dan Kristyawan Dwibhakti sebagai Pemohon IV. Mereka mendalilkan Pasal 50 UU Rusun berbunyi; “Pemanfaatan rusun dilaksanakan sesuai dengan fungsi; a. Hunian; atau b. campuran” bertentangan dengan UUD 1945″.
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, kuasa hukum pemohon mengatakan kliennya adalah pemilik satuan unit rusun yang berbentuk satuan unit kondotel.
Fungsi PPPSRS
Dengan adanya UU Rusun, sambung Aulia, kondotel tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, sehingga para Pemohon tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Padahal, PPPSRS itu berperan penting untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan dan penghunian.
Hal tersebut berakibat kebendaan yang dibawah kekuasaannya (satuan rusun lengkap dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama) tidak dibawah penguasaan para pemohon, melainkan berada dalam penguasaan pengembang.
Selain itu, Pemohon mendalilkan kondotel yang tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, berakibat pada satuan unit kondotel milik mereka tidak dapat terbit bukti kepemilikan satuan rusun (SHM Sarusun).
Para Pemohon menilai ketentuan yang mengatur pemanfaatan fungsi rumah susun hanya untuk fungsi hunian dan campuran, yang memiliki makna jelas dan tegas (expressis verbis) pada Pasal 50 UU Rusun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan hak konstitusionalnya.
Berdasarkan alasan itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 50 UU Rusun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk ‘bukan hunian’.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para pemohon untuk menyempurnakan kewenangan MK dengan menambahkan uraian UU tersebut. Selain itu, ia menyarankan para pemohon mencermati problematika persoalan posita tidak terpenuhinya hak.
“Saya tidak bisa men-drive karena itu domain Pemohon. Seperti itu ya, yang penting ada tambahan bukti-bukti,” urai Enny.
Kemudian, Enny juga meminta para pemohon agar menguraikan petitum dengan baik. Sehingga tidak terdapat pertentangan antara petitum yang satu dengan petitum lainnya.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan kuasa hukum untuk memperhatikan tata beracara di MK. “Saya kira Pemohon perlu memerhatikan hal itu,” tegas Wahiduddin seraya menyarankan Pemohon memperbaiki sistematika petitum.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan, pihaknya memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. “Pemohon harus menyerahkan perbaikan permohonan kepada Kepaniteraan MK selambatnya 21 Juni 2022,” pungkasnya. (BRN)