Menteri-Menteri Bidang Ekonomi Diminta Kembali Fokus Bekerja

Justru disinsentif seperti kenaikan tarif PBB dan pajak hiburan yang dikeluarkan
0
444

JAKARTA – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyoroti kebijakan ekonomi pemerintah di 2024 yang masih belum jelas termasuk untuk sektor properti. Padahal, kesinambungan program pemulihan ekonomi yang telah dicapai selama 2023 perlu terus dilanjutkan guna memenuhi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sekitar 5%.

“Kami belum mendengar pernyataan menteri-menteri di bidang perekonomian mengenai apa saja stimulus dan insentif yang disiapkan pemerintah di 2024 untuk sektor properti. Justru disinsentif seperti kenaikan tarif PBB dan pajak hiburan yang dikeluarkan di awal tahun,” kata Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto di Jakarta, Kamis (25/1).

Ditegaskan, pernyataan resmi dari pemerintah mengenai stimulus dan insentif untuk dunia usaha di 2024 sangat ditunggu-tunggu, karena diyakini akan menjadi sentimen positif untuk memacu semangat pelaku usaha bergerak meskipun di tahun politik. Oleh karena itu, Joko Suranto mendesak menteri-menteri bidang ekonomi untuk kembali fokus bekerja mengurusi ekonomi.

“Kami berharap mereka memperlihatkan etos kerja dan keseriusan untuk mendukung pertumbuhan dunia usaha, memacu investasi dan membuka lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat. Salah satunya melalui sektor properti yang sudah teruji sebagai backbone bagi 185 industri lainnya termasuk industri manufaktur padat karya,” ungkap CEO Buana Kassiti Group itu.

Bukannya memberi insentif untuk dunia usaha, pemerintah di awal tahun justru mengesahkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Menurut Joko, beberapa poin kebijakan yang termuat di dalam UU HKPD semakin membebani masyarakat, pelaku usaha dan juga berpotensi menurunkan minat investasi baru.

Sebagai contoh kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak hiburan untuk aktivitas pariwisata. REI pun mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kenaikan tarif pajak tersebut.

“Kami berbicara atas pertimbangan kepentingan umum yang luas bahwa saat ini perekonomian masyarakat dan aktivitas di sektor pariwisata belum pulih sepenuhnya setelah pandemi lalu. REI menilai penerapan kebijakan tarif PBB dan pajak hiburan di UU HKPD harus ditunda. Untuk selanjutnya dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk menyusun formula insentifnya,” tegasnya.

Kendala SDM

Selain ekonomi masyarakat yang masih sulit, penundaan kenaikan tarif kedua pajak tersebut juga didasari oleh kendala sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, tidak semua daerah bisa segera membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkada) sebagai aturan teknis dari UU HKPD. Apalagi tahun ini ada pemilihan umum (Pemilu), sehingga kepala daerah dan DPRD dipastikan fokus untuk menyambut perhelatan politik tersebut.

Kenaikan tarif PBB diatur dalam UU HKPD yakni Pasal 41. Disebutkan, tarif baru PBB ditetapkan sebesar paling tinggi 0,5% atau naik dari sebelumnya paling tinggi 0,3%. Besaran pajak selanjutnya akan ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah. PBB adalah pajak terhadap lahan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.

Sementara itu, pajak hiburan ditetapkan paling rendah 40%-75%. Ketentuan ini mengacu kepada Pasal 58 UU HKPD terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Tarif PBJT ini diberlakukan untuk semua pergelaran kesenian termasuk konser musik, rekreasi wahana air, agrowisata, diskotek, karaoke, kelab malam, bar, pijat refleksi dan mandi uap/spa. Besaran tarif pajak selanjutnya ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah. (MRI)