
Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa hingga April 2023 tercatat negara terima pajak sebesar Rp688,15 triliun. Meski pertumbuhannya moderat, capaian penerimaan tersebut meningkat sebesar 21,3 persen secara tahunan.
“Penerimaan pajak sampai April mencapai Rp688,15 triliun. Kalau kita lihat semuanya masih tumbuh, meskipun pertumbuhannya mulai moderat,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan persnya, Senin, 22 Mei 2023.
Jumlah tersebut setara 40,05 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023. Rinciannya, capaian Pajak Penghasilan (PPh) non-migas tercatat Rp410,92 triliun atau 47,04 persen dari target. Pajak ini tumbuh 20,11 persen ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Selanjutnya, penerimaan pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) hingga akhir April 2023 tercatat sebesar Rp239,98 triliun atau 32,30 persen dari target, tumbuh sebesar 24,91 persen.
Menurut Sri Mulyani, negara terima Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya mencapai Rp4,92 triliun atau 12,30 persen dari target. Capaian ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 102,62 persen. Demikian juga, PPh migas tercatat Rp32,33 triliun atau 52,62 persen dari target atau tumbuh 5,44 persen.
“Kalau kita lihat pertumbuhan 21,3 persen itu masih tinggi. Tahun lalu sudah tumbuh tinggi juga, yaitu 51,4 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi yang mengontribusikan penerimaan pajak tahun lalu sudah menyumbangkan pertumbuhan yang cukup tinggi dan masih bertahan hingga April dengan pertumbuhan 21,3 persen”, jelas Menkeu.
Pemicu penerimaan pajak yang moderat antara lain penurunan harga mayoritas komoditas utama dan juga penurunan ekspor dan impor.
Meski penerimaan pajak diwarnai kewaspadaan sejalan dengan volatilitas ekonomi global dan normalisasi basis penerimaan, pemerintah tetap optimis mengingat aktivitas ekonomi domestik masih terus meningkat.
Lebih lanjut, Menkeu menyebut pemerintah akan terus melakukan berbagai langkah pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan terus waspada terhadap lingkungan ekonomi yang menunjukkan tanda-tanda pelemahan.
APBN Positif
Sri Mulyani juga mengumumkan kinerja APBN per April 2023 masih positif. Hal ini terlihat dari surplus APBN sebesar Rp234,7 triliun atau 1,12 persen dari PDB dengan keseimbangan primer yang juga mengalami surplus sebesar Rp374,3 triliun.
“Dalam empat bulan pertama APBN, kita mengalami surplus baik di keseimbangan primer maupun total overall balance dari APBN kita,” ungkapnya.
Penerimaan negara sebesar Rp 1.000,05 triliun atau 40,6 persen dari APBN menopang kinerja positif tersebut. Angka itu tumbuh 17,3 persen ketimbang tahun sebelumnya. Selain itu, belanja negara juga tumbuh positif sebesar Rp765,8 triliun atau 25 persen dari total belanja tahun ini, naik 2 persen dibandingkan tahun kemarin.
Harga komoditas terutama harga energi dan pangan per akhir April 2023 juga menunjukan tren penurunan yang berdampak pada penurunan tingkat inflasi dan ketahanan Indonesia terhadap tingkat suku bunga acuan di berbagai negara. “Ini menggambarkan posisi Indonesia yang resilient terhadap kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dari berbagai negara. Bahkan Indonesia masih bertahan, ini hal positif yang kita jaga,” ungkapnya.
Menkeu juga menyebutkan, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2023 Indonesia sebesar 5,03 persen. Angka itu masih sangat tinggi ketimbang mayoritas negara-negara lain di Eropa dan ASEAN yang ekonominya masih mengalami perlemahan.
Pertumbuhan ini didukung oleh sisi demand dan sisi supply secara seimbang. Sejalan dengan hal itu, sisi produksi, manufaktur, perdagangan, pertambangan, transportasi, serta sektor makanan, minuman dan akomodasi juga mengalami lonjakan pertumbuhan. Hal itu seiring semakin terkendalinya pandemi dan normalisasi kegiatan ekonomi masyarakat.
“Kalau kita lihat dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang mulai terkendali, maka kita juga lihat pengangguran dan kemiskinan mulai mengalami penurunan yang konsisten,” ujar Menteri Keuangan.
Namun, Pemerintah masih mewaspadai sektor eksternal seperti ekspor dan impor yang mengalami pelunakan. “Meskipun kita mengalami penurunan dari sisi harga dan nilai ekspor, namun neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus 36 bulan berturut-turut,” pungkasnya. (BRN)