
Webinar Perkim Seri 36 dengan tema “Post Sub-Urbanisasi & Dampaknya pada Perkim” yang bekerja sama dengan IAP DKI Jakarta. (Foto: Istimewa)
Jakarta – Post sub-urbanisasi memberikan dampak terhadap pola perumahan di suatu wilayah. Statistician on Directorate of Population and Labor Statistics, Badan Pusat Statistik, Erie Sadewo memberikan contoh di Kabupaten Bogor saat ini alasan masyarakat memiliki rumah di sana adalah lebih banyak untuk tempat tinggal.
“Ada pergeseran penduduk yang memilih untuk tinggal di Kabupaten Bogor atas alasan perumahan. Jadi, alasan perumahannya meningkat karena di sana mungkin dirasakan lingkungannya masih nyaman untuk perumahan. Sementara yang pindah ke sana untuk mendekati tempat kerjanya justru menurun,” jelas Erie Sadewo dalam acara Webinar Perkim Seri 36 dengan tema ‘Post Sub-Urbanisasi & Dampaknya pada Perkim’ yang bekerja sama dengan IAP DKI Jakarta dan digelar secara virtual pada Kamis, 13 April 2023.
Erie Sadewo melanjutkan, pekerja atau atau pencari kerja yang memilih tinggal di Kabupaten Bekasi selama satu dekade itu naik 1000%. Kemudian, di kota Bogor Naik 240%, di Kabupaten Tangerang naik 173%, dan di Kabupaten Bogor justru turun 35%.
Pencari kerja yang memilih tinggal di Bekasi, Kota Bogor, dan Tangerang memilih tempat tinggal di dekat dengan tempat kerjanya.
“Hal ini menunjukkan bahwa post sub-urbanisasi yang diikuti oleh kebutuhan tempat tinggal pekerja. Tapi, melemahnya kontribusi sub pusat seperti yang terjadi di Kabupaten Bogor tadi akan mengembalikan atau mendorong kembalinya fungsi dari sub-sub pusat tadi sebagai kawasan pemukiman,” terang Erie.
Pada kesemparan yang sama, Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) DKI Jakarta Adhamaski Pangeran mengatakan, fenomena urbanisasi mengalami perubahan menjadi sub-urbanisasi dari kota ke pinggiran kota, dan saat ini seperti di wilayah metropolitan Jabodetabek telah terjadi yang dinamakan post sub-urbanisasi.
“Pola pergerakan orang itu sudah makin tidak terbaca sekarang. Ada orang Bogor kerja ke Bekasi, orang Cibubur kerja ke Tangerang Selatan, orang Tangerang kerja ke Bekasi dan lain-lain. Jadi pola pergerakannya sudah sudah macam-macam. Salah satu sinyal yang kelihatan itu misalnya kereta api ya KRL Stasiun Manggarai yang dirasa oleh masyarakat tidak mampu menampung kapasitas pergerakan orang di era post sub-urbanisasi,” jelas Adhamaski.
Sikap Planner
Sementara itu, Peneliti Urban Lab Tarumanagara University, Dr. Ing. Jo Santoso mengatakan post sub-urbanisasi itu sejatinya salah satu bagian dari proses yang jauh lebih kompleks, yaitu revolusi urban.
“Dan yang paling gampang sebetulnya menunjukkan apa yang dimaksud dengan revolusi Urban itu adalah di Jakarta dan sekitarnya,” ujarnya.
Jo Santoso mengingatkan sebagai seorang planner atau perencana dalam menghadapi permasalahan perkotaan adalah aware tentang pentingnya fungsi kota sebagai institusi sosial.
“Kita juga aware tentang rusaknya sistem ekologis kota kita. Lalu yang berikutnya, rusaknya metabolisme kita ya karena kita itu demi demi orang asing masuk sebagai investasi itu. Lalu, kita mengorbankan sistem ekologi kita. Itu juga nggak boleh,” tegasnya.
Kemudian, seorang planner harus memikirkan meredam arus urbanisasi di Indonesia yang angkanya kini masih di kisaran 1,5-2%.
Lalu yang terakhir, bagaimana me-manage mega city yang face to face dengan global market dan face to face dengan global capital.
“Jadi, artinya harus ada studi khusus harus ada Perhatian para akademisi kota, planner, arsitek untuk studi khusus mengenai mega city ini,” pungkas Jo Santoso. (SAN)