Jakarta – Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) DKI Jakarta menilai, insiden kebakaran di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Depo Plumpang, Jakarta Utara, sebagai ekses tragedy of open access akibat pembiaran yang terjadi selama puluhan tahun.
“Musibah ini merupakan dampak dari adanya kesalahan bersama yang kita diamkan selama berpuluh-puluh tahun. Upaya penyelesaian masalah ini tidak langsung ke akar persoalan. Yang ada hanya solusi populis,” kata Ketua IAP DKI Jakarta, Adhamaski Pangeran, dalam siaran persnya, Rabu, 8 Maret 2023.
Di satu sisi, selaku pemilik Depo Plumpang, PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha PT Pertamina (Persero), kurang menjaga asetnya secara baik. Pada saat yang sama, masyarakat telah membangun rumah di atas lahan yang bukan miliknya.
Menurut Adhamaski, persoalan sengketa ruang antara BUMN Migas dengan masyarakat di Kampung Tanah Merah harus segera terselesaikan. Berdasarkan data IAP DKI Jakarta tahun 2021, warga yang menghuni Tanah Merah mencapai 9.234 kepala keluarga. “Penghuni Tanah Merah mencapai 34 ribu jiwa yang bermukim di lahan seluas 81 hektare. Praktis, Kampung Tanah Merah merupakan kawasan terpadat, mungkin bukan hanya di Indonesia, tapi se-Asia. Ironisnya, jalan yang ada juga sangat terbatas sehingga menyulitkan aksesibilitas pemadam kebakaran (damkar),” tegasnya.
Saat ini berkembang wacana dua alternatif solusi, yakni relokasi Depo Pertamina maupun relokasi masyarakat. Namun, bagi IAP DKI Jakarta, keduanya tidak bisa terpisahkan. Opsi alternatif relokasi Depo Pertamina harus sejalan dengan program penataan ulang kawasan permukiman di Kampung Tanah Merah.
IAP DKI menilai penataan ulang Kampung Tanah Merah merupakan hal yang mutlak. Bagaimana pun, 34 ribu jiwa adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk bermukim sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Mereka telah menempati dan bersusah payah membangun rumah secara swadaya. “Prinsipnya penataan ulang Kampung Tanah Merah adalah menggeser, bukan menggusur, yang harus diikuti dengan reforma agraria,” jelas Adhamaski.
Peristiwa kebakaran ini secara jelas juga menggambarkan situasi yang tidak aman di kawasan tersebut. “Negara harus hadir dalam tata ulang di Kampung Tanah Merah. Apalagi, kawasan itu tercatat masih merupakan tanah negara,” ujarnya.
RTRW Absen
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, Tanah Merah adalah milik negara dengan status hak guna bangunan atas nama Pertamina. Total tanah negara di kawasan tersebut seluas 153 ha. Dari total luas lahan tersebut, Depo Plumpang berdiri di area seluas 72 ha. Sedangkan masyarakat menempati sisanya seluas 81 ha.
“Tragedi Plumpang akibat pembiaran yang terjadi bertahun-tahun ini menyiratkan absennya perencanaan jangka panjang dan pengendalian tata ruang,” kata Adhamaski.
Lebih jauh Adhamaski berpendapat, potret sengketa ruang yang terjadi di Plumpang merupakan efek puncak gunung es. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang berlaku di Jakarta saat ini seharusnya menjabarkan dan memastikan fungsi kawasan sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bekerja sesuai rencana.
Tapi RDTR ini justru mendahului beleid yang lebih tinggi yakni RTRW. Padahal RTRW berfungsi sebagai kompas pembangunan Jakarta. Hal ini membuat seakan buffer zone di sekitar objek vital negara menjadi hilang.
“Secara prinsip RTRW mengatur fungsi kawasan, sedangkan RDTR memastikan fungsi tersebut benar-benar ada. Jadi, penting sekali Kota Jakarta memiliki RTRW seiring hadirnya RDTR yang sudah sangat akomodatif,” kata Adhamaski.
IAP DKI berharap, ke depan perencanaan dan pengendalian tata ruang menjadi panglima pembangunan. “Hal ini sebagai arah pembangunan dan memastikan tujuan pembangunan bisa terlaksana dengan baik,” pungkasnya. (BRN)