Jakarta – Pelayanan publik terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) masih terkatung-katung sejak Agustus 2021 silam sehingga perizinan properti terancam lockdown. Pemerintah bersama pemangku kepentingan berupaya mengurai permasalahan pelayanan publik di sektor industri properti.
“Kami berharap ada solusi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) guna mendorong percepatan penerbitan Peraturan Daerah (Perda) Retribusi PBG. Produk hukum di level daerah ini sangat penting bagi konsumen untuk memperoleh insentif PPN DTP. Namun, sampai berakhirnya diskusi, Kemendagri belum punya solusi sehingga perizinan properti terancam lockdown,” tutur Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Paulus Totok Lusida kepada industriproperti.com, seusai menghadiri rapat virtual di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin, 17 Januari 2022.
Totok menyebut, pihaknya sudah mengusulkan 100 wilayah sebagai prioritas penyelesaian kendala PBG. Usulan ini disampaikan dalam forum rapat yang dipimpin Asisten Deputi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Agenda rapat yaitu membahas pelaksanaan PBG dan retribusi PBG di daerah serta implikasinya terhadap aplikasi Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang). PBG menjadi salah satu persyaratan untuk memperoleh fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
“Kami paham perlunya proses politik dalam penerbitan sebuah peraturan daerah. Kami juga menyadari bahwa untuk menerbitkan sebuah perda akan memakan waktu cukup lama. Namun, pelaku usaha juga berkejaran dengan waktu karena insentif PPN DTP hanya berlaku hingga Juni 2022,” ujar Totok.
Baru 124 Kabupaten/Kota
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR per 11 Januari 2022, dari 514 kabupaten/kota saat ini hanya ada 124 kabupaten/kota yang sudah menerbitkan PBG. Dari total wilayah itu, saat ini sudah tujuh wilayah yang telah mengantongi Perda Retribusi PBG. Namun, baru tiga wilayah yang sudah memiliki Perda Retribusi PBG dan sudah menerbitkan PBG. Ketiga wilayah itu adalah Kabupaten Bungo (Jambi), Kabupaten Karimun (Kepulauan Riau), dan Kota Denpasar (Bali).
Sedangkan empat wilayah lainnya, yaitu Kabupaten Badung (Bali), Kota Kendari (Sulawesi Tenggara), Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara (Sulawesi Utara) yang sudah memiliki Perda Retribusi PBG, namun belum mengeluarkan PBG.
Usulan Retribusi Terutang
REI juga meminta agar pemda yang belum menerbitkan Perda Retribusi PBG dapat memberlakukan retribusi terutang dalam penerbitan PBG. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi pelayanan penerbitan perizinan pembangunan properti di daerah tetap bergulir.
“Pemda agar dapat memberlakukan retribusi terutang terhadap penerbitan PBG yang memang belum ada payung hukumnya. Usulan alternatif ini supaya tidak terjadi penundaan di lapangan,” kata Wakil Ketua Umum DPP REI Bidang Perizinan, MT Junaedy.
Menurut Junaedy, usulan penundaan pembayaran retribusi PBG itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 156 ayat 3 huruf g. “UU ini memberikan kewenangan bagi kepala daerah untuk menetapkan ketentuan terkait mekanisme dan pelaksanaan permohonan penundaan pembayaran retribusi,” ujarnya.
Beleid lainnya yang juga mengatur hal serupa, imbuh Junaedy, yakni UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 95 ayat 2 huruf b dan Pasal 96 ayat 2.
“UU Nomor 1/2022 juga memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan retribusi,” tukasnya.
Praktisi hukum properti Muhammad Joni menyatakan, usulan retribusi PBG terutang itu tidak menabrak aturan hukum yang ada. “Usulan adanya retribusi PBG terutang itu sejalan dengan aturan hukum yang ada,” ucap Joni.
Lebih lanjut MT Junaedy menjelaskan, agar layanan perizinan pembangunan properti tetap berjalan, Pemda juga dapat mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Apabila kelengkapan persyaratan administrasi melebihi SLA (service level agreement) maka secara otomatis berlaku. Hal itu tidak menabrak aturan,” tegas Junaedy. (BRN)