Pemda Tidak Terbitkan PBG, Ada Konsekuensi Hukumnya Lho

Persetujuan Bangunan Gedung/Foto Istimewa
JAKARTA- Pelaku usaha properti saat ini tengah menanti realisasi penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dari pemerintah daerah. Pasalnya, proyek pembangunan properti pengembang terkendala karena belum terbitnya PBG. Pemerintah daerah berdalih penundaan penerbitan PBG karena belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) Retribusi PBG sebagai landasan normatif menarik retribusi.
Menanggapi sikap mayoritas pemerintah daerah yang menunda penerbitan PBG dengan alasan belum ada Perda Retribusi PBG, Pakar Hukum Properti dan Perbankan Juneidi D Kamil berpendapat, sikap tersebut tidak tepat bahkan berpotensi menimbulkan risiko hukum. Menurutnya, pemerintah daerah diharapkan segera menerbitkan PBG sepanjang syarat dan ketentuan sudah dipenuhi oleh pemohon.
“Menunda penerbitan PBG dengan syarat yang sudah dipenuhi dapat merugikan pemohon. Hal ini dapat menjadi alasan untuk mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam hal pemerintah daerah belum memiliki Perda Retribusi PBG, maka tetap dapat diterbitkan dengan retribusi nol rupiah,” tegas Juneidi kepada Industriproperti.com, Senin (17/1/2022).
Dia menambahkan, pemerintah daerah yang belum memiliki Perda Retribusi PBG, kepala daerah dapat menerbitkan keputusan kepala daerah yang menyatakan layanan penerbitan PBG tidak disertai pungutan berupa retribusi sampai ditetapkannya Perda Retribusi PBG. Layanan penerbitan PBG tetap dilakukan melalui SIMBG dengan cara melakukan input tarif retribusi PBG sebesar Rp.0 (nol rupiah). Sedangkan biaya atas proses layanan penerbitan PBG dibebankan pada APBD.

Juneidi D Kamil, SH, ME, CRA
Di sisi lain, pemerintah pusat sudah menerbitkan PP No.16 tahun 2021. Dalam peraturan pemerintah ini, pemerintah daerah kabupaten/kota harus menyediakan layanan PBG dalam jangka waktu enam bulan sejak peraturan pemerintah ini berlaku. Jangka waktu ini telah berakhir pada 2 Agustus 2021 lalu.
“Oleh karena itu, mau tidak mau pemerintah daerah harus merevisi Perda Retribusi IMB menjadi Perda Retribusi PBG agar bisa menarik retribusi layanan PBG. Jangan sampai penundaan revisi peraturan daerah itu justru menghambat pelayanan kepada masyarakat,” ujar Juneidi.
Risiko Hukum
Realitas di lapangan, banyak daerah yang belum merevisi Perda Retribusi IMB menjadi Perda Retribusi PBG. Padahal, permohonan PBG yang tidak direspon oleh instansi berwenang dapat memiliki risiko hukum.
Juneidi mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur tentang Keputusan Fiktif Positif. Istilah ini mengandung pengertian apabila Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan mengabaikan permintaan dari warga negara, maka dianggap telah mengabulkan permintaan tersebut.
Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengharuskan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk menetapkan suatu keputusan dan atau tindakan setelah adanya permohonan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja apabila tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak melakukan keputusan atau tindakan yang telah dimohonkan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
Oleh dasar hukum tersebut, kata Juneidi, maka pemerintah berkewajiban secara hukum untuk memberikan respon atas permohonan masyarakat atas keputusan/tindakan tertentu. Kalau dalam jangka waktu yang sudah diatur tetap tidak direspon, maka ada hak masyarakat untuk memperkarakannya ke pengadilan.
“Fiktif positif itu untuk mendorong pelayanan publik yang lebih baik oleh badan/pejabat pemerintahan,” jelas Juneidi.
Sebagai contoh kasus, dia meminta pemerintah daerah untuk menyimak hasil putusan fiktif positip dalam perkara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN.JBI. Dalam putusan itu, PTUN Jambi mengabulkan gugatan pemohon IMB yang merasa dirugikan karena pemerintah daerah setempat tidak meresponi permohonannya.
Putusannya menyatakan batal atau tidak sah sikap diam Bupati Kabupaten Merangin yang tidak memproses surat permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan pemohon tanggal 1 Desember 2014. Putusan itu juga mewajibkan Bupati Kabupaten Merangin untuk memproses dan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan pemohon. (MRI)