Perencanaan Kota Ramah Perempuan, Tanggung Jawab Siapa?

Dalam perencanaan kota, posisi perempuan juga harus mendapat perhatian lebih.
0
595
kota ramah perempuan

Jakarta – Peran perempuan dan kehadirannya dalam menciptakan ruang perkotaan merupakan isu yang sering muncul dan mendorong terbentuknya teori “Kota yang Ramah Bagi Perempuan”. Untuk membangun kota ramah perempuan, tanggung jawabnya terletak di bahu pemerintah.

“Kita berpikirnya begini, ini tanggung jawab negara. Tetapi, tanggung jawab negara harus bisa disinkronkan juga dengan kebutuhan masyarakat pemakai, tidak hanya laki-laki, ada perempuan, ada lansia dan ada anak,” ucap Olivia Chadidjah Salampessy, Komisoner KOMNAS Perempuan dan Wakil Walikota Ambon, dalam Webinar Urban Dialogue 2020 #11 dengan tema “Perencanaan Kota : Perspektif Perempuan” yang diselenggarakan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) DKI Jakarta, Kamis, 29 Februari 2024 dalam rangka menyambut Hari Perempuan Sedunia yang diperingati pada setiap tanggal 8 Maret.

Lebih jauh Olivia menjelaskan bahwa perempuan tidak hanya dapat berperan aktif dalam pembangunan. Sementara dalam perencanaan kota, posisi perempuan juga harus mendapat perhatian lebih.

“Kalau kita mau berpikir secara rasional bahwa perempuan itu tidak diharamkan dalam konstitusi kita untuk kemudian bersama-sama dalam pembangunan. Sekarang perencanaan kota saya berharap ada perubahan dalam menata kota dengan melihat posisi perempuan,” imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Deputy Director IPSOS dan Aktivis Perempuan, Sukma Widyanti menuturkan ada empat isu penting terkait perempuan yang harus diwujudkan ketika berbicara soal desain kota berdasarkan studi dari United Nations Development Programme (UNDP) dan University of Liverpool tahun 2022.

Pertama adalah mengenai safety and security. Dalam riset tersebut dikatakan bahwa 32% merasa tidak aman di tempat publik di malam hari.

“Kemudian yang kedua adalah justice and equity. Study di 20 negara ini menunjukkan bahwa 39% merasa pembuat kebijakan tidak memasukkan kebutuhan perempuan dalam membuat kebijakan-kebijakan terkait perkotaan,” katanya.

Ketiga adalah terkait healt and wellbeing yang di dalam survei ini ada 76% meyakini bahwa akses terhadap infrastruktur hijau dan biru akan menciptakan lingkungan yang sehat untuk kehidupan.

“Yang terakhir adalah enrichment and fulfilment. Ini sebenarnya adalah bagaimana kita di-notice perempuan itu diakui juga sebagai pemilik kota,” sambungnya.

“Surat Cinta” IAP Jakarta

Sementara Sekretaris IAP DKI Jakarta Meyriana Kesuma mengatakan, meskipun jumlahnya masih minim, perencana-perencana perempuan memiliki cukup banyak pengaruh.

“Terkait dengan keterlibatan perempuan di dalam perencanaan tata ruang, terutama di Jakarta, masih belum maksimal karena banyak hal dalam hal ini dalam perencanaan tata ruang masih belum mengarah kepada perencanaan yang ramah perempuan,” urainya.

Dari hal tersebut, IAP DKI Jakarta saat ini memberikan pernyataan sikap agar bisa mendorong, terutama Pemerintah Provinsi Jakarta untuk melibatkankan perempuan untuk pengembangan dan pembangunan kota.

Adapun perencanaan kota untuk semua berarti perencanaan kota yang juga melibatkan perempuan. IAP DKI Jakarta mendorong pelibatan perempuan dalam perencanaan kota, diantaranya sebagai berikut.

1. Memahami bahwa dampak akan kebijakan intervensi ruang kota akan mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda.

2. Menerapkan strategi desain fasilitas ruang kota yang dapat mengurangi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di dalam memperoleh aksesibilitas, kontrol, partisipasi, dan manfaat dari penggunaan fasilitas ruang kota.

3. Memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan perempuan dalam ruang kota sebagai salah satu parameter keberhasilan produk perencanaan kota.

4. Mendorong perempuan memiliki akses yang sama dalam penguasaan dan pengambilan keputusan terkait aset tanah dan rumah.

5. Meningkatkan partisipasi perempuan secara bermakna dalam tiap tahap proses perencanaan dan pengambilan keputusan di ruang kota. (SAN)