MK Perintahkan Penyusunan UU Rusun Non Hunian

Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong pembentuk undang-undang (UU) segara menyusun aturan mengenai rumah susun (rusun) bukan hunian di Indonesia.
0
1084
UU Rusun

Jakarta –  Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong pembentuk undang-undang (UU) segara menyusun aturan mengenai rumah susun (rusun) bukan hunian di Indonesia.

“Mahkamah mendorong pembentuk undang-undang untuk dapat segera menyusun undang-undang maupun peraturan pelaksana yang dapat dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan rumah susun yang memiliki fungsi bukan hunian di Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam pembacaan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun di Jakarta, Senin, 31 Oktober 2022.

Wahiduddin memaparkan, Mahkamah memahami keberadaan kondotel sebagai jenis usaha atau bentuk investasi baru yang terus akan berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan akan layanan jasa perhotelan di Indonesia. Hal tersebut menjadikan kondotel harus memiliki payung hukum tersendiri sesuai dengan karakteristiknya.

Kondotel memiliki struktur bangunan dan model kepemilikan yang sama dengan rumah susun. Namun, perbedaannya terletak pada fungsi kondotel yaitu sebagai salah satu kegiatan usaha.

“Keberadaan karakteristik yang demikian ternyata secara spesifik tidak terakomodir dalam hukum positif sehingga terdapat 92 kekosongan hukum dalam pengaturannya,” kata Wahidudin.

Tidak Bertentangan

Wahiduddin menjelaskan, menurut Mahkamah, tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah tidak bertentangan dengan norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan uraian mengenai desain pemanfaatan rumah susun dalam UU 20/2011 di atas, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondotel dapat dimasukkan dalam rezim pengaturan rumah susun berdasarkan UU 20/2011.

Menurut Mahkamah, pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 harus diartikan secara keseluruhan, mulai dari struktur bangunan, kepemilikan hingga pemanfaatannya yaitu terutama sebagai fungsi hunian.

Dikatakan Wahiduddin, UU 20/2011 memang mengkonstruksikan pengertian rumah susun yang mensyaratkan dominasi fungsi hunian, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai pendukung.

Pemahaman demikian juga telah sesuai dengan pengertian bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana sebagiannya telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada pokoknya menentukan bangunan gedung memiliki fungsi yaitu sebagai hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Fungsi Kondotel

Dalam kaitan ini, keberadaan kondotel sebagai bangunan Gedung yang memiliki fungsi usaha ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP dimaksud) yang menyatakan, “Yang dimaksud fungsi usaha meliputi: e. Bangunan Gedung perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, rumah kos, hotel, dan kondotel.”

Sehingga, kondotel yang lebih memiliki fungsi kegiatan usaha memang tidak sesuai dengan pengertian rumah susun berdasarkan UU 20/2011 dan apabila dengan menambahkan fungsi bukan hunian dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 sebagaimana permohonan para Pemohon.

Hal demikian justru akan menyebabkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 20/2011 serta dengan peraturan perundang-undangan lain yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum karena desain UU 20/2011 menempatkan fungsi utama rumah susun adalah sebagai tempat tinggal.

“Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Wahidudin. (SAN)