JAKARTA – Masalah perizinan menjadi kendala klasik yang masih menghantui pembangunan perumahan di Indonesia. Padahal, di satu sisi angka kekurangan (backlog) perumahan nasional masih cukup tinggi mencapai 14 juta unit, dan setiap tahunnya terus bertambah. Perlu keikhlasan dari semua pihak agar semua masyarakat dapat hidup di rumah yang layak.
Jika ditanya apa salah satu yang unik di Indonesia, mungkin fenomena kerap tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa dijadikan salah satu jawaban. Termasuk dalam hal perizinan perumahan, dimana berbagai kebijakan pemerintah pusat yang sudah memberikan kemudahan perizinan bagi pembangunan rumah khususnya untuk MBR, justru di bawah terhadang arogansi pemerintah daerah.
Birokrasi panjang masih menjadi tanggungan beban berat bagi pengembang. Sementara semua tahu bahwa semakin banyak tahapan perizinan yang dilalui, maka semakin mahal pula biaya yang harus pengembang keluarkan. Itu yang resmi saja, belum terhitung lagi pungutan liar (pungli) yang kerap harus diladeni dalam mengurus perizinan.
Wakil Ketua Umum Koordinator DPP Realestat Indonesia (REI) Hari Ganie mengakui panjangnya rantai birokrasi, lamanya proses pengurusan izin, hingga besarnya biaya yang harus dikeluarkan sangat membebani pengembang. Dampaknya tentu akhirnya dirasakan juga oleh konsumen, karena harga rumah menjadi lebih mahal akibat tingginya biaya perizinan.
“Memang keluhan utama yang datang dari teman-teman anggota REI di daerah adalah perizinan. Dan itu tidak ada habis-habisnya,” ujar Hari dalam sebuah diskusi.
REI menyesalkan masih banyak pemerintah daerah yang enggan mematuhi perintah pusat. Padahal sudah jelas pemerintah pusat memberikan banyak sekali kemudahan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sebelumnya juga sudah diteken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyederhanaan Perizinan Pembangunan Perumahan.
Kedua regulasi itu salah satunya memerintahkan pemangkasan izin dalam pembangunan rumah subsidi untuk MBR dari 33 jenis menjadi 11 jenis, pengurangan waktu pengurusan perizinan dari yang sebelumnya bisa hampir dua tahun menjadi 1,5 bulan saja, serta mempersingkat penerbitan IMB induk dan pemecahan IMB dari 30 hari menjadi tiga hari kerja.
Tak sampai disitu, untuk mempermudah koordinasi di daerah dalam pelaksanaan kedua peraturan tadi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menerbitkan surat edaran kepada pemerintah daerah pada 27 Februari 2017 terkait penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan MBR. Antara lain imbauan supaya ada penggabungan perizinan dan percepatan perizinan.
Beberapa contohnya yaitu mempersingkat Surat Pelepasan Hak (SPH) atas Tanah dari Pemilih Tanah pihak pengembang dari 15 hari menjadi 3 hari kerja. Selain itu, percepatan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Induk dan pemecahan IMB dari 30 hari menjadi 3 hari kerja.
“Pemerintah pusat telah memberikan kemudahan, namun pelaksanaan di daerah masih banyak hambatan. Contohnya perizinan satu atap, tetapi dalam praktiknya masih banyak meja dan pintunya,” keluh Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida, baru-baru ini.
Alih-alih semakin mudah, justru proses perizinan semakin berbelit dan sulit. Banyak sekali peraturan daerah yang sepertinya bertentangan dengan aturan pusat. Dalam istilah Totok, di daerah seakan-akan ada banyak “raja-raja kecil” yang berkuasa dalam hal perizinan termasuk di bidang perumahan.
“Kadang yang di pusat sudah putih warnanya, tetapi di daerah justru berubah menjadi abu-abu bahkan hitam,” tegas dia.(mri)