Jakarta – Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang rencana kenaikan harga jual rumah subsidi khusus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih dalam tahap harmonisasi. Revisi aturan tersebut seiring telah terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan aturan turunannya.
“Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai kenaikan jual rumah khusus MBR. Saat ini PMK tersebut masih dalam proses harmonisasi. Kebijakan subsidi tersebut guna membantu MBR untuk memperoleh hunian yang layak,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat menyampaikan keynote speech secara daring dalam acara Diskusi Properti bertema ‘Kontribusi Industri bagi Perekonomian Nasional’ yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, di Jakarta, Senin, 10 April 2023.
Revisi regulasi mengenai batasan harga rumah subsidi sejalan telah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). “PP Nomor 49/2022 merupakan tindak lanjut dari pemberlakuan UU HPP,” ujarnya.
Harga jual rumah bersubsidi saat ini masih mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) Nomor: 242/Kpts/M/2020 yang terbit Maret 2020 lalu. Beleid itu berisikan aturan pembaharuan terkait harga jual rumah bersubsidi, batasan penghasilan kredit pemilikan rumah subsidi, besaran suku bunga, tenor subsidi, batasan luas tanah dan bangunan rumah, serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan.
Beleid itu mencabut Kepmen PUPR Nomor: 535/Kpts/M/2019 tentang batasan harga jual rumah sejahtera tapak yang diperoleh melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah bersubsidi tertanggal 18 Juni 2019. Kendati demikian, tidak ada perubahan harga jual rumah bersubsidi pada Kepmen PUPR Nomor 242/2020 tersebut.
Harga jual rumah bersubsidi yang tertuang dalam Kepmen PUPR Nomor 535/2019 itu mengacu pada PMK Nomor 81 Tahun 2019 yang terbit pada 20 Mei 2019 silam. Adapun besaran kenaikan harga rumah subsidi di tahun 2019 berkisar 3 persen hingga 11 persen atau sekitar Rp 7 juta hingga Rp 11,5 juta per unit yang tergantung wilayahnya dari harga rumah subsidi tahun 2018.
Besaran Kenaikan
Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) telah mengupayakan usulan kenaikan harga jual rumah bersubsidi. Pasalnya, pengembang rumah bersubsidi sudah menantikan terbitnya PMK tentang kenaikan harga jual rumah subsidi.
Setidaknya, sejak setahun terakhir, REI berulangkali telah menyuarakan kenaikan harga jual rumah bersubsidi. Pertimbangannya, langkah pemerintah menaikkan harga jual rumah bersubsidi berkaitan langsung dengan kemampuan pengembang dalam memproduksi rumah bagi MBR.
Menurut Hari, kenaikan harga rumah bersubsidi saat ini merupakan hal yang mutlak. Sebab, harga jual saat ini membuat pengembang kewalahan menambal biaya produksi yang melambung tinggi.
“REI telah mengusulkan kenaikan harga jual rumah subsidi di rentang 7% hingga 13%. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) masih membahas usulan kenaikan tersebut,” papar Sekretaris Jenderal DPP REI Hari Ganie.
Di sisi lain, kalangan perbankan menantikan terobosan dari pemerintah seiring rencana kenaikan harga jual rumah bersubsidi. Saat ini pengembang terpaksa menunda transaksi penjualan unit rumah bersubsidi karena khawatir potensi kerugian. “Banyak pengembang masih menahan penjualan rumah ready stock dari 2021 dan 2022,” ungkap Kepala Kantor Wilayah IV PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Muhammad Amin Sholeh.
“Dalam situasi ekonomi seperti sekarang, apabila terjadi kenaikan harga rumah subsidi, kami menunggu terobosan kebijakan dari Pemerintah. Kami berharap ada kepastian dari BP Tapera bahwa kenaikan harga jual itu termasuk pasokan dari tahun 2020,” imbuhnya.
Menurut Amin, apabila tidak ada kepastian itu, maka kebijakan kenaikan harga jual rumah subsidi akan mempersulit pengembang dan perbankan. “Jika tidak ada statemen itu, bank dan pengembang akan sulit mendapat titik temu,” tukas Amin. (BRN)