Properti China Lesu, Apa Kabar Properti untuk WNA di Indonesia?
Jakarta – Lesunya sektor properti di China telah menyeret pertumbuhan ekonomi di Negeri Tirai Bambu sepanjang tahun 2023. Situasi serupa juga menimpa industri properti global di tahun 2024 seiring lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Sayangnya, anjloknya industri properti di China dan di pasar global itu tidak secara otomatis mampu mengalihkan minat pembeli asing untuk masuk ke pasar properti domestik.
“Apakah rontoknya sektor properti di China menjadi peluang bagi pasar properti di Indonesia? Anjloknya bisnis properti di China tidak serta merta membuat pembeli dari kalangan warga negara asing (WNA) beralih ke pasar properti ke negara kita. Pemilik likuiditas berlebih dalam melakukan transaksi properti tentunya untuk tujuan investasi, bukan untuk penggunaan jangka panjang,” ucap Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, saat dihubungi industriproperti.com, Kamis, 1 Februari 2024.
Menurut Sunarsip, ada hambatan regulasi terkait kepemilikan asing di sektor properti di Indonesia. Hal ini membuat WNA cenderung ogah untuk beli properti di Indonesia. “WNA biasanya beli properti tidak untuk menguasai fisik bangunannya. Mereka lebih menyukai transaksi properti dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan dengan underlying aset berupa properti. Masalahnya, instrumen investasi properti semacam ini belum berkembang dengan baik di negara kita,” tukas Sunarsip.
Kendati tidak ada kendala regulasi, imbuh Sunarsip, WNA tentu akan lebih memilih untuk beli properti di China ketimbang properti yang ditawarkan oleh pengembang di Indonesia. “Harga properti di China jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Sebab tren penurunan harga properti di negara tersebut terkontraksi jauh lebih dalam daripada yang terjadi di Indonesia. Investor yang punya likuiditas berlebih pasti akan pilih menanamkan uangnya di properti di China. Apalagi, saat ini properti di China mengalami oversuplai yang luar biasa besar,” ujarnya.
Pelemahan Ekonomi Global
Sejumlah lembaga internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank dan lembaga lainnya telah mempublikasikan outlook tahun 2024. “Sebagian besar lembaga asing tersebut memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi di 2024 lebih rendah ketimbang tahun lalu,” ucap Sunarsip.
IMF, misalnya, pada 30 Oktober 2023 lalu memperkirakan pertumbuhan ekonomi global di 2024 mencapai 2,9%, lebih rendah dengan perkiraan tahun 2023 yakni 3,0%. “Perlambatan pertumbuhan tersebut antara lain karena perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS), Eropa dan China,” kata Sunarsip.
Bank Indonesia (BI) dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2023 yang dirilis di Jakarta, Rabu, 31 Januari 2024, memprediksi masih adanya pelemahan ekonomi global tahun 2024. “Setelah mencatat pertumbuhan yang tinggi sebesar 3,5% pada 2022, prakiraan pertumbuhan ekonomi pada 2023 turun menjadi 2,9%. Angkanya terus melambat hingga 2,8% pada 2024 dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah,” sebagaimana kutipan Buku Laporan Perekonomian BI: ‘Sinergi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Ekonomi Nasional’.
“Dengan harapan meredanya ketegangan geopolitik, prakiraan ekonomi dunia akan kembali membaik dengan pertumbuhan sebesar 3,0% pada tahun 2025,” demikian penjelasan BI.
Divergensi pertumbuhan terjadi antarnegara maju, khususnya AS, yang relatif tinggi dengan negara emerging market and developing economies (EMDEs) yang tumbuh menurun dan stagnan. “BI mencatat prakiraan pertumbuhan ekonomi negara maju turun dari 1,5% pada tahun 2023 menjadi 1,3% pada 2024, sebelum meningkat menjadi 1,7% pada tahun 2025,” lapor bank sentral.