Reforma Agraria Solusi Atasi Konflik Pertanahan

0
1059

Jakarta – Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pusat, Surya Tjandra menegaskan bahwa reforma agraria merupakan solusi penyelesaian konflik pertanahan. Selain itu, reforma agraria juga menjadi bagian dari upaya pembangunan daerah melalui tata ruang, pengembangan potensi pariwisata, pertanian, perkebunan serta komoditas ekspor hingga redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Salah satu contoh pembangunan wilayah melalui Reforma Agraria yaitu pembangunan di Provinsi Sumatera Utara. “Dari 19 Program Strategis Nasional (PSN) di Pulau Sumatera, sebanyak tujuh titik di antaranya berlokasi di Sumatera Utara,” kata Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) itu, dalam siaran pers di Jakarta, Selasa, 13 April 2021.

Surya Tjandra merinci, beberapa pembangunan itu antara lain Kawasan Strategis Nasional Metropolitan Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo), Pembangunan Pulau Tertinggal, Terluar dan Terdepan di Pulau Nias, dan Pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas Danau Toba. Selanjutnya, pengembangan potensi kebun sawit rakyat, pengembangan potensi wisata desa dan agrowisata seluas 640 Ha di Tapanuli Selatan sebagai cikal bakal Kampung Reforma Agraria Sumatera Utara.

Berikutnya, Pengembangan Food Estate berupa holtikultura seperti cabai, bawang putih dan industri kentang. “Wajar jika Sumatera Utara menjadi hotspot konflik agraria dan strategi untuk itu harus kreatif,” tutur Surya Tjandra.

Lebih lanjut Surya Tjandra menuturkan, permasalahan dan konflik agraria bukanlah sesuatu yang tabu atau harus dilupakan. Konflik itu harus menjadi pintu masuk untuk memahami gejala konflik. Sebagai contoh, ketika masyarakat membutuhkan sesuatu dan menimbulkan konflik, maka harus ada strategi berkelanjutan berdasarkan gejala yang ada. “Selanjutnya harus ada sistem pelaksanaan Reforma Agraria yang lebih efektif,” tambah Surya Tjandra.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letupan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 kepala keluarga (KK) di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.

Berdasarkan Laporan Konflik Agraria 2020 yang dirilis lembaga swadaya masyarakat itu, 122 kasus sektor perkebunan menjadi pemicu konflik agraria terbesar. Sektor industri properti menempati urutan empat teratas yakni memicu 20 letupan konflik. Sedangkan sektor kehutanan (41 kasus), dan pembangunan infrastruktur nasional (30 kasus), berada di urutan kedua dan ketiga teratas.

Sejumlah proyek infrastruktur yang masuk dalam PSN dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), yakni sebanyak 17 kasus, mendominasi konflik agraria di tahun lalu. Proyek tersebut antara lain pembangunan jalan tol, bandara, kilang minyak dan pelabuhan. Tidak hanya itu, konflik juga terjadi akibat pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata premium seperti Danau Toba, Labuan Bajo dan Mandalika. Sisanya akibat pembangunan stasiun, bendungan dan gelanggang olah raga (GOR).

Sedangkan konflik pertanahan di sektor properti akibat adanya klaim aset pemerintah (sebanyak delapan kasus), dan enam kasus pembangunan kawasan perumahan. Selanjutnya, dua kasus akibat pembangunan proyek real estat, dua kasus kawasan industri, satu letupan konflik akibat pembangunan resort dan satu kasus akibat pembangunan proyek perkantoran. (BRN)