Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Perhotelan Makin Terpuruk

Industri perhotelan makin terjepit dengan adanya tunggakan sebesar Rp140 miliar yang belum dibayar pemerintah dan pemberlakuan PPKM Darurat,
0
478

Jakarta – Belum dibayarnya biaya akomodasi tenaga medis dan OTG (Orang Tanpa Gejala) oleh pemerintah kepada 14 hotel yang bekerja sama dalam program itu menjadi salah satu kendala yang dihadapi industri perhotelan di DKI Jakarta. Nilainya cukup besar, yakni mencapai Rp140 miliar pada periode Februari hingga Juni 2021.

“Dari laporan teman hotel ada beban sekitar Rp 140 miliar yang belum terbayar, dimohon segera dicairkan karena kita megap sekali cash flow hotel,” ungkap Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono dalam konferensi pers virtual, Senin, 5 Juli 2021.

Pihaknya, lanjut Sutrisno, terus mengupayakan komunikasi melalui BPD PHRI DKI Jakarta dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menyelesaikan tertundanya 9 batch pembayaran akomodasi tenaga medis dan karantina OTG.

Tidak semua hotel dapat menjadi penyedia layanan isolasi mandiri. Pasalnya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, seperti memiliki setifikat CHSE yang diberikan  diberikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berbasis Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).

Sutrisno berharap, hotel-hotel diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti program karantina dan OTG. Dengan begitu diharapkan dapat memberikan angin segar kepada pengusaha perhotelan guna menghadapi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3-20 Juli 2021 untuk wilayah Jawa dan Bali.

Makin Terjepit PPKM Darurat

Terkait diberlakukannya PPKM Darurat, Sutrisno mengatakan, industri perhotelan akan mendapatkan pukulan, misalnya dalam hal okupansi. Sebelum diberlakukannya PPKM Darurat, okupansi hotel rata-rata 20-40 persen. Namun, okupansi diperkirakan akan turun menjadi 10-15 persen saat diberlakukannya PPKM Darurat.

“PPKM Darurat berdampak langsung dengan terjadinya penurunan tajam terhadap tingkat hunian, khususnya hotel non program karantina OTG dan repatriasi,” imbuh Sutrisno.

Selama masa PPKM Darurat, pemerintah menerapkan sejumlah pengetatan seperti bekerja dari rumah (Work from Home/WFH) 100 persen. Selain itu,  penutupan mal dan pusat keramaian, seperti hotel dan restoran juga diberlakukan.

Tak hanya okupansi yang menurun, berbagai kegiatan meeting dan pernikahan ada pembatalan semasa PPKM Darurat. Selain itu, pelaku usaha perhotelan juga mesti menanggung beban seperti operasional, biaya pajak, perizinan dan tenaga kerja.

Dalam jangka pendek, salah satu langkah untuk mengurangi beban adalah dengan merumahkan karyawan. Selain itu, PHRI berharap pemerintah memberikan keringanan berupa subsidi listrik 30-50 persen, subsidi air tanah,  beban pajak PB1, PPH, PPN dan lainnya.

“Keadaan ini dapat memicu pengusaha mengambil langkah sulit dengan menghentikan operasional, merumahkan karyawan, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dapat berdampak pengangguran dan sosial lebih luas,” ungkap Sutrisno.

Dalam bidang ketenagakerjaan, PHRI meminta agar diperbolehkan memberlakukan unpaid leave atau cuti tidak berbayar dan multitasking. Selain itu, pengalihan perpanjangan tenaga kerja waktu tertentu menjadi tenaga kerja harian (casual) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) karyawan terdampak dan paket kesehatan. (ADH)