Tim Serap Aspirasi: Usulan REI Komprehensif

0
878

Jakarta – Tim Serap Aspirasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyatakan bahwa usulan yang diajukan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia terkait aturan turunan beleid tersebut sudah lengkap.

“Draf usulannya tebal sekali dan sudah sangat komprehensif. Namun, perwakilan dari Tim Serap Aspirasi akan tetap mengadakan pertemuan dengan tim kecil dari REI. Jangan sampai RPP (rancangan peraturan pemerintah) yang akan dibuat nanti tidak bisa diimplementasikan, atau bahkan akan lebih rumit lagi,” beber Ketua Tim Serap Aspirasi, Franky Sibarani, saat memimpin pertemuan secara virtual antara tim bentukan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bersama Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI, Rabu, 16 Desember 2020.

Franky menjamin, pihaknya akan membuka ruang diskusi secara intens dengan representasi pelaku usaha sektor properti. “Hal ini mengingat bahwa Bapak-Bapak lah yang nanti akan mengeksekusi RPP ini di lapangan. Jika kami tidak beri ruang diskusi yang intens, saya khawatir akan terjadi lag antara RPP yang satu dengan lainnya,” tegas Franky.

Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan anggota Tim Serap Aspirasi kepada personel Tim 15 REI UU Cipta Kerja yang dimotori oleh Muhammad Turino Junaedi, Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI Bidang Perizinan.

“Terkait pemasaran, misalnya, pembeli bisa menolak. Apabila prosesnya saat ini sangat panjang, bagaimana jika itu dipersingkat atau dipercepat. Apakah dengan mempercepat proses perizinan, maka biaya dan waktunya bisa dipangkas,” kata anggota Tim Serap Aspirasi, Haryo Winarso.

Senada, anggota Tim Serap Aspirasi, Nurhasan Ismail juga mempertanyakan apakah pemangkasan proses perizinan dapat berdampak terhadap komponen biaya yang dibebankan kepada pengembang. “Proses perizinan yang panjang dan biaya yang sangat besar, bisa mecapai 20% lebih. Apabila perizinannya dipercecpat, apakah bisa berdampak positif terhadap harga jual rumah sehingga semakin banyak masyarakat bisa mengakses hunian yang layak,” kata pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada.

Haryo Winarso menambahkan, dalam hal RPP yang mengatur one man one vote untuk mekanisme pemungutan suara terkait Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). “Kemungkinan bahwa alasan si pembuat RPP ini agar tidak menyalahi ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB).

Yang dimaksud Haryo Winarso adalah putusan MK Nomor: 85/PUU-XIII/2015 yang diumumkan pada persidangan secara terbuka, Rabu, 14 Desember 2016. Dikutip dari putusan MK, bahwa pemberlakuan one man one vote apabila berhubungan dengan penghunian. Sedangkan NPP berlaku hanya apabila dikaitkan dengan pengelolaan dan kepemilikan rumah susun. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut MK, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “berhak memberikan satu suara” dalam pasal 77 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2011, dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Tidak hanya itu, Haryo Winarso juga menyoal tentang perizinan yang cukup hanya diatur di tingkat pusat, sementara daerah hanya mengikuti saja. “Semangat RPP seperti itu. Tapi, kita juga jangan lupa bahwa ada beberapa daerah memiliki kekhususan tertentu dan kewenangan yang juga spesifik,” tegasnya.

Pertanyaan serupa juga dilemparkan Sekretaris Tim Serap Aspirasi, Agus Muharram. “Ada daerah yang memiliki kekhususan tertentu. Misalnya, adanya pelarangan untuk beroperasinya klub malam di Aceh,” beber Agus Muharram. Dia juga mengaku punya pengalaman kurang mengenakkan ketika hendak membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

Kambing Hitam

Pada kesempatan itu, anggota Tim 15 UU Cipta Kerja REI, Dhony Rahajoe menyatakan, dalam berbagai kesempatan, pihak pengembang selalu dijadikan kambing hitam. “Pengembang kerap dituding sebagai pihak yang menindas konsumen,” ujar Managing Director President Office Sinar Mas Land.

Padahal, kata Dhony, pengembang terikat beragam aturan dalam menjalankan aktivitas bisnis properti. Mulai dari fase perencanaan, tahapan pengerjaan proyek, penjualan, hingga operasionalisasi pasca penjualan. “Pengembang harus mematuhi berbagai norma-norma yang ada. Mulai dari aturan hukum, aspek sosial, kepatuhan terhadap instansi terkait di tingkat daerah, serta menyangkut aspek hubungan dengan calon konsumen. Jadi, pengembang tidak bisa secara sepihak atau seenaknya saja dalam menjalankan kegiatan usahanya,” tukas dia. (BRN)