Mendorong Implementasi ESG di Sektor Perumahan dan Pembiayaan

Ignesjz Kemalawarta, Kepala Badan Kajian Strategis Pengurus DPP REI menjadi salah satu pembicara
JAKARTA – PT Bank Central Asia (BCA) Tbk telah menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) hijau senilai Rp1,14 triliun. Green mortgage itu disalurkan untuk membiayai pemilikan rumah dan apartemen yang sudah mendapat sertifikasi hijau (greenship) di lima proyek properti.
Kelima proyek tersebut adalah Citra Maja Raya (Maja, Lebak-Banten), Kota Baru Parahyangan (Padalarang Barat, Bandung Barat-Jawa Barat), Samanea Hill (Parung Panjang, Bogor-Jawa Barat), Navapark, dan Verde Two (Kuningan, Jakarta Selatan-DKI Jakarta).
“Maunya kami bisa menyalurkan KPR Hijau yang lebih besar lagi. Karena itu kami berharap ke depan makin banyak proyek properti yang mendapat sertifikasi hijau. Jadi, kami sangat berkomitmen menyalurkan pembiayaan hijau, tapi di bisnis properti (realisasi) komitmen itu juga sangat tergantung pada suplai properti yang sudah mendapat sertifikasi hijau,” kata Welly Yandoko, Executive Vice President (EVP) Consumer Loan BCA dalam Halal bi Halal dan Bincang Santai “Tuntutan Implementasi Bisnis Properti & Pembiayaan Hijau”, yang diadakan Urban Forum, Forwada, dan Indonesia Housing Creative Forum di Jakarta, Rabu (24/4) lalu.
Bincang santai dibuka Herry Trisaputra Zuna, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Selain Welly, pembicara lain dalam bincang santai itu adalah Ignesjz Kemalawarta, Kepala Badan Kajian Strategis Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI), dan Chief Marketing Officer Damai Putra Group Binsar Pandiangan.
Menurut Welly, sejak awal BCA sangat mendukung penerapan konsep ESG (Environment, Social, Governance) termasuk di bisnis properti, antara lain melalui penyaluran pembiayaan hijau. Hal itu ditunjukkan oleh penyaluran kredit hijau BCA yang terus meningkat, Dimana posisi terakhir telah mencapai Rp123 triliun. Sepanjang 2019 – 2023 mengalami peningkatan dari Rp44 triliun menjadi Rp87 triliun Dimana sebagain dari angka tersebut merupakan KPR hijau dan di tahun 2023 penyalurannya tumbuh sebesar 7%.
Dia menambahkan, untuk merangsang developer mengembangkan properti hijau dan juga mendorong konsumen membeli properti yang sudah mendapat sertifikasi hijau, BCA siap memberikan rate kredit yang bersaing, biaya kredit yang lebih rendah, dan proses persetujuan aplikasi yang lebih cepat dan mudah.
Welly menyebutkan, komitmen terhadap keberlanjutan (sustainabilitas) atau ESG tidak hanya ditunjukkan BCA dalam penyaluran kredit hijau, tapi juga dalam proses bisnis. Tahun 2023 sebanyak 99,7% dari total transaksi kredit dilakukan melalui channel digital. Mekanisme persetujuan kredit misalnya, termasuk KPR, menggunakan channel digital melalui berbagai kanal seperti myCore, myPartnerBCA, dan RumahsayaBCA.
“Sekitar 63 persen aplikasi KPR BCA masuk melalui channel digital,” ungkap Welly. Bahkan, kegiatan administrasi BCA juga dilakukan dengan konsep daur ulang (recycle). Sebagian kegiatan internal perusahaan seperti rapat dan pertemuan, serta kegiatan administrasi, dilakukan secara online atau bisa dikerjakan dari mana saja.
“Sampai sekarang kami masih WFH. Rapat-rapat dilakukan secara daring. Pekerjaan yang bisa dilakukan online, diselesaikan secara online. Semua itu menghemat konsumsi listrik dan penggunaan kertas dalam semua proses bisnis BCA,” jelas Welly.
Itulah sebabnya kinerja BCA sangat solid. Di bisnis KPR misalnya, pangsa pasar BCA sampai akhir tahun lalu mencapai 24%. Dari total penyaluran KPR oleh 38 bank pada 2023 senilai Rp513,6 triliun, sebanyak Rp121,8 triliun disalurkan BCA.
“Rasio kredit bermasalah atau NPL KPR BCA juga jauh lebih rendah daripada NPL industri. Kalau NPL KPR perbankan 2,39 persen, NPL KPR BCA hanya 1,12 persen,” ungkap Welly.
Aspek Menyeluruh
Binsar Pandiangan menyatakan, penerapan konsep ESG di sektor properti memang tidak bisa digantungkan hanya pada satu dua pihak seperti bank dan developer, melainkan harus melibatkan seluruh stakeholder terutama pemerintah sebagai regulator. Fungsi regulator terutama menyusun standar keberlanjutan yang diharapkan diterapkan pelaku bisnis dan keuangan, dan memberi insentif entah berupa keringanan pajak, perizinan, atau yang lain.
“Bagaimanapun penerapan konsep hijau itu menambah cost, termasuk proses mendapatkan sertifikasinya. Sementara bisnis berorientasi profit,” katanya.
Kendati demikian dia menegaskan, seperti pengembang lain Damai Putra Group juga berkomitmen menerapkan konsep berkelanjutan di proyek-proyeknya, termasuk di Kota Harapan Indah/KHI (2.200 ha) di Bekasi, Jawa Barat.
Konsep hijau antara lain diterapkan di kawasan hunian Asera Nishi di KHI yang dikembangkan bersama developer Jepang. Yaitu, dalam bentuk desain rumah yang bisa meminimalisir konsumsi listrik, penyediaan ruang terbuka yang lebih besar, penyediaan sumur resapan, dan penggunaan penutup jalan dan halaman grass block yang memudahkan peresapan air ke dalam tanah.
Sementara di kawasan KHI sendiri disediakan tiga danau besar sebagai tandon air pada musim hujan. “Saat hujan lebat beberapa bulan lalu yang membuat kawasan tetangga kami (Kelapa Gading, Red) kebanjiran, kami sepenuhnya tidak tergenang,” jelas Binsar.
Dia menambahkan, konsumen sendiri secara umum belum concern terhadap properti hijau. Motivasi pembelian mereka masih ditentukan oleh daya beli atau harga. Ia tidak menyebutkan bagaimana penerapan aspek sosial dan tata kelola di Damai Putra Group.
Ignesjz Kemalawarta mendukung pendapat Binsar tersebut. Menurutnya, konsep ESG memang mau tak mau harus diterapkan pebisnis, baik dalam proses produksi maupun operasional menyusul makin meresahkannya pemanasan global dan perubahan iklim akibat emisi CO2 yang berlebihan.
Fokusnya bagaimana mengurangi konsumsi energi (energy efficiency) agar bisa mereduksi emisi gas rumah kaca (CO2), ditambah reduksi konsumsi air, pengolahan sampah dan limbah. “Pengembang tidak bisa hanya berorientasi profit, karena profit tidak akan bisa dicapai kalau alamnya sudah rusak, dan sebaliknya. Pebisnis harus berpartisipasi mengurangi kerusakan alam itu,” kata advisor PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) itu.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian PUPR, OJK, dan institusi terkait lain bersama provider sertifikasi hijau atau Green Building Council Indonesia (GBCI), sangat perlu menginisiasi gerakan hijau itu melalui regulasi dan pemberian insentif, termasuk untuk pebisnis properti dan industri keuangan agar mereka terdorong menerapkan konsep ESG.
Konsep hijau dalam arti ramah terhadap alam perlu diiringi dengan aspek sosial dan tata kelola agar bisnis yang menerapkan konsep itu tetap berkelanjutan. “Saat ini yang gandrung menerapkan konsep ESG itu baru subsektor perkantoran (office). Perumahan dan apartemen masih sangat sedikit,” kata Ignesjz.
Perkantoran lebih getol melakukannya, karena ada insentif dari berbagai perusahaan besar untuk lebih memilih gedung perkantoran yang sudah mendapat sertifikat hijau. Terutama terkait dengan upaya mereka meningkatkan daya saing, dengan mendapatkan rate yang lebih kompetitif di pasar keuangan dan dari investor. “Jadi, insentif menerapkan konsep hijau itu di subsektor perkantoran cukup tinggi, termasuk dari sisi cost,” katanya.
Ignesjz menyebutkan, tambahan investasi untuk menerapkan konsep hijau di gedung perkantoran mencapai 4%-5%. Tapi bisa memberikan energy saving atau energy effieciency antara 30-45%. Dia memberi contoh gedung Mina Bahari IV di Gambir, Jakarta Pusat, yang sudah mendapat banyak penghargaan hijau. Tambahan investasi untuk menerapkan konsep hijau pada bangunan dan segala infrastruktur dan utilitasnya mencapai 4,44%.
Namun, tambahan investasi itu mampu menghasilkan penghematan biaya utilitas 56% setahun atau setara Rp4,1 miliar atau setara konsumsi energi 680 rumah MBR, sehingga investasi tambahan itu bisa kembali dalam 4,3 tahun. Hal yang kurang kebih sama terjadi pada gedung utama Kementerian PUPR di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Energy saving itu akan lebih besar lagi bila sebuah gedung menggunakan energi dari panel surya.
“Di subsektor perumahan kompensasi penerapan konsep ESG itu mungkin jauh lebih kecil. Sampai sekarang belum ada penelitiannya. Karena itu penerapan konsep keberlanjutan di subsektor perumahan tidak segandrung di perkantoran. Perlu peran pemerintah mendorong sektor perumahan menerapkan konsep hijau atau ESG itu,” tuturnya. (MRI)