Pengamat: Fundamental Pasar Perumahan Nasional Rentan

Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Jakarta – Fundamental pasar perumahan nasional saat ini dirasa masih rentan. Setidaknya ada empat sebab mengapa hal tersebut bisa terjadi, seperti belum adanya grand strategy atau blueprint perumahan nasional.
“Kalau kita lihat sebetulnya fundamental housing regulasi kita itu masih sangat rentan. Pertama, ada ngga sih grand strategy atau blueprint perumahan nasional? Saya rasa belum. Ini seperti tambal sulam,” jelas CEO Indonesia Properti Watch (IPW) Ali Tranghanda dalam Seminar Nasional Perbaikan Regulasi di Bidang Perumahan sebagai Solusi Peningkatan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman di Indonesia, di Serpong, Banten, Jumat 18 Maret 2022.
Ali menjelaskan, kebijakan tambal sulam itu terjadi dalam perumahan nasional, antara lain terlihat pada program 1.000 tower rumah susun (rusun) beberapa tahun lalu. Program ini bergulir sebelum pemerintah mengeluarkan program sejuta rumah.
“Kenapa tambal sulam? Indonesia negara yang belum ada public housing. Ini berhubungan dengan grand strategy tadi. Ini tiba-tiba ada program sejuta rumah. Dahulu sebelum sejuta rumah ada yang namanya program 1.000 tower rusunami. Itu yang seakan-akan programnya tiba-tiba mendadak,” ucap Ali.
Kerentanan pasar perumahan nasional juga terlihat dari masih terjadi missmastch pasar perumahan karena tidak tersedia data penunjang. Kemudian, Arah pembangunan seringkali tidak mempertimbangkan kapasitas dan kebutuhan pasar di masing-masng wilayah sehingga menimbulkan salah sasaran. Terakhir, Indonesia merupakan satu negara yang belum ada public housing.
“Program sejuta rumah itu, apakah itu public housing? Pemahanan saya, kalau public housing itu sebetulnya pemerintah yang bangun. Di negara manapun kalau bicara public housing, artinya negara hadir di sana untuk membangun,” kata Ali.
Memaduserasikan Aturan
Pada kesempatan yang sama, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Imam Koeswahyono mengusulkan untuk memaduserasikan aturan terkait perumahan. Pasalnya, beberapa pasal maupun ayat dalam undang-undang terkait perumahan saat ini masih dirasa tumpeng tindih dan kurang saling mendukung.
“Masalah pembangunan perumahan dan pemukiman ini sudah menjadi amanat konstitusi sehingga dari perspektif hukum sesungguhnya ketika pembangunan perumahan dan pemukiman ini menjadi satu isu nasional maka seluruh ketentuan perudang-undangan yang berkaitan dengan perspektif holistik maka harus dilakukan suatu upaya untuk memaduserasikan pasal-pasal termasuk ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain,” terang Imam.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Bidang Perundang-undangan dan Regulasi Properti, Ignesjz Kemalawarta berharap bagaimana aturan dapat berjalan dengan baik.
“Bagaimana undang-undang itu bisa di garap secara lebih baik dan bisa lebih realistis dan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” ucap Ignesjz.
Salah satu usulan, imbuh Ignesjz, adalah terhadap UU NO. 1/2011 & UU NO. 11/2020 diharapkan ada beberapa perubahan. Pertama, terkait kelompok masyarakat yang mendapat bantuan dalam perolehan rumah. Masyarakat yang belum memiliki rumah di Indonesia bukan hanya kelompok masyarakat MBR.
Gap antara masyarakat yang dapat membeli rumah umum (MBR) dan rumah komersial (Non-MBR, termasuk di dalamnya milenial, Gen Z, kelas menengah perkotaan, dll) terlalu tinggi sehingga sebaiknya fokus bantuan perolehan rumah bukan hanya untuk MBR.
Sementara terkait masyarakat yang dapat memiliki rumah dalam kedua UU tersebut, usulannya adalah adanya kelompok masyarakat yang penghasilan terlalu tinggi untuk bisa membeli rumah umum. Namun tidak cukup untuk membeli rumah komersial, sehingga tidak bisa membeli rumah.
“Sebaiknya penjualan rumah umum bukan hanya untuk kelompok MBR,” ujar Ignesjz.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah terkait penyerahan PSU kepada pemerintah daerah/kota, pengambilan keputusan PPPRSS dan pengelolaan kawasan mixed used. Kemudian, terkait dengan perwakilan kuasa, perlindungan konsumen dan kepastian hukum serta rumah susun non-hunian. (SAN)