
Rumah subsidi (Foto: NAHP)
Jakarta – Setelah dua tahun bergulir, program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) ternyata kurang diminati masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dari total alokasi anggaran yang bersumber dari pinjaman World Bank senilai USD 205 juta atau setara Rp 2,7 triliun, dalam dua tahun terakhir hanya tersalurkan USD 18,1 juta atau setara Rp 238,4 miliar (6.534 unit rumah bersubsidi).
“Saya merasa gagal menyalurkan Program BP2BT karena pencairannya hanya 8,8 persen. Selama dua tahun program ini tidak berjalan optimal. Padahal kita sudah memberi sejumlah relaksasi. Misalnya, ketentuan lama waktu menabung dari semula minimal enam bulan telah dipangkas hanya tiga bulan,” kata Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Khalawi Abdul Hamid, saat Kick Off Meeting Pelaksanaan BP2BT Tahun 2021, di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Kamis, 28 Januari 2021.
BP2BT merupakan salah satu program bantuan pemerintah yang diberikan kepada MBR yang mempunyai tabungan untuk pemenuhan sebagian uang muka perolehan rumah atau sebagian dana pembangunan rumah swadaya melalui kredit atau pembiayaan bank pelaksana.
Untuk diketahui, BP2BT menjadi salah satu komponen dari National Affordable Housing Program (NAHP) yang diinisiasi World Bank sejak 2018 silam. NAHP yang menyasar target kalangan MBR sebagai penerima bantuan ini mencakup program BP2BT, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), dan bantuan berupa dukungan teknis pembaharuan kebijakan perumahan.
Bank Dunia menggelontorkan tidak kurang dari USD 450 juta untuk NAHP. Rinciannya, senilai USD 205 juta (setara Rp 2,7 triliun atau 102.500 unit rumah) untuk Program BP2BT, sebanyak USD 175 juta (setara Rp 2,3 triliun atau 140 ribu unit rumah) untuk Program BSPS, dan USD 70 juta atau setara Rp 938 miliar untuk bantuan dukungan teknis terkait pembaharuan kebijakan di sektor perumahan.
“Sudah susah payah dicarikan pinjaman, tapi tidak terserap. Kritik itu disampaikan Pak Menteri PUPR (Basuki Hadimoeljono) kepada saya. Hal ini tentu harus menjadi pemicu bagi kita semua untuk sama-sama mendorong suksesnya program BP2BT,” kata Khalawi yang juga Kepala Project Management Committee (PMC) NAHP.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Bidang Percepatan Pembangunan Perumahan Bersubsidi, Ahsanul Haq menyampaikan, minimnya serapan Program BP2BT dipicu sejumlah kendala. Diantaranya adalah persyaratan administratif erta prosedur pencairan dana BP2BT dari bank penyalur yang cenderung lambat. “Informasi dari anggota kami, program BP2BT ini butuh waktu administrasi tidak kurang dari satu bulan, dan proses pencairan yang juga satu bulan. Hal ini tentunya mengganggu cashflow pengembang,” ujar Anol, sapaan karibnya.
Digitalisasi Laporan
Lebih jauh Anol menuturkan, problem utama dari minimnya minat MBR dalam memanfaatkan program ini adalah karena kendala komunikasi belaka. Misalnya, skema progres pelaporan dari pihak pengembang kepada konsultan pelaksana di lapangan yang hingga kini masih mengandalkan pola-pola konvensional.
“Sekarang era teknologi canggih. Seharusnya, pola komunikasi untuk penyampaian pelaporan dari pihak pengembang kepada konsultan pemerintah dapat menggunakan teknologi digitalisasi berupa aplikasi. Tentunya aplikasi yang digunakan itu sudah harus disetujui sebelumnya oleh Kementerian PUPR selaku kementerian teknis,” tegasnya.
Sementara itu, Task Team Leader NAHP Bank Dunia Dao Harison mengatakan, untuk tahun ini pihaknya akan melakukan sejumlah hal terkait upaya perbaikan serapan program tersebut. Dia berharap realisasi Program BP2BT tahun ini bisa digenjot.
“Kami akan melakukan survei kepuasan konsumen, memastikan standar minimal konstruksi dapat ditaati di lapangan, serta meningkatkan daya jangkau rumah yang layak bagi konsumen kalangan MBR,” ucapnya.
Masyarakat yang ingin memperoleh dukungan pembiayaan BP2BT harus memiliki tabungan minimal tiga bulan dengan saldo minimal Rp 2 juta hingga Rp 5 juta sesuai batasan penghasilan. Apabila disetujui, rumah yang dibeli oleh MBR akan didukung 50 persen pembiayaannya oleh pihak bank penyalur dengan tingkat bunga pasar. Sedangkan dana BP2BT akan diberikan sebesar 45 persen dari nilai rumah dengan batasan maksimal bantuan sebesar Rp 40 juta.
“Program BP2BT ini sebetulnya dapat menjadi alternatif pembiayaan bagi MBR yang tidak mendapat dukungan Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP). Apalagi, program bantuan uang muka rumah ini juga bisa dimanfaatkan oleh pekerja sektor informal yang berbasis komunitas,” cetus Anol. (BRN)