Ini Dia Biaya dan Risiko Membangun IKN di Kaltim

Ada risiko terhadap alam dan manusia, yang timbul dari pembangunan IKN
0
300
Ketua Umum IAP Hendricus Andy Simarmata (kanan) saat memberikan keterangan pers bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monarfa (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta – Rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) perlu mempertimbangkan beberapa biaya risiko yang akan muncul. Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Hendricus Andy Simarmata, yang  menjadi pembicara dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa perencanaan pembangunan IKN harus mempertimbangkan biaya lingkungan, biaya sosial, dan biaya infrastruktur. “Kita harus dealing dengan environmental cost, social cost, dan physical cost,” kata Andy dalam acara IAP Talks bertajuk ‘Kota Baru IKN: Menakar Risiko Pembangunan?’ yang diselenggarakan secara virtual, pada hari Kamis 17 Juni 2021.

Secara lebih detail, Andy mengatakan bahwa untuk menumbuhan suatu kota, maka dia harus well connected (terhubung baik) dengan koridor ekonominya. “Kalau kami di Kalimantan, kita punya pantai timur (dari Bontang sampai Banjarmasin) yang sangat di drive oleh minyak dan gas bumi, termasuk juga mining dan saat ini ada timber, hutan, dan kebun,” ujar Andy juga juga merupakan putera asli Kalimatan.

“IKN harus bisa well connected dengan koridor ekonominya, perlu sistem kota – kota dan well infrastructure yang well connected,” pungkas Andy.

Terlebih, berdasarkan hasil tinjauan lapangan Andy ke lokasi IKN, Ketua Umum IAP ini juga berpendapat bahwa akan ada biaya pematangan lahan dan pembangunan infrastruktur yang luar biasa besar, yang pada gilirannya menimbulkan biaya produksi tinggi (high production cost) dan biaya pengelolaan yang besar (high operational and maintenance cost).

“Ruang sekitar IKN juga memerlukan kehati-hatian dalam pelaksanaan pembangunannya karena akan banyak menekan keanekaragaman hayati dari sekelilingnya, dari teluk Balikpapan, tahura bukit soeharto, gunung parung, pegunungan meratus. Betul – betul perlu kehati-hatian, ini ada cost,” papar Andy.

Biaya ketiga yang akan keluar juga merupakan biaya sosial, terlebih melihat desa – desa dan masyarakat adat atau asli di lokasi setempat. “Ruang sosial budaya masih membutuhkan strategi transisi urbanism,” kata Andy.

“Bahwa pemaknaan ruang (red – ke masyarakat adat) perlu dikomunikasikan dengan baik. Kalau tidak, akan terjadi penyesuaian – penyesuaian yang akan membuat social cost.” ujar Andy.

Pada kesempatan yang sama, Wakil rakyat asal Kalimantan Timur Hetifah Syaifudian juga menyebut ada dua risiko dalam pembangunan IKN, yakni risiko terhadap manusia dan risiko terhadap alam.

“Kita ingin memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, siapa yang akan menikmati, ini ketimpangan antar penduduk asli, pendatang, ini jadi satu isu yang penting, sangat disayangkan bila IKN menciptakan ketimpangan baru, bahkan bila menciptakan konflik,” sebut Hetifah saat menjelaskan risiko pembangunan IKN terhadap manusia di Kalimantan Timur, dalam

Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu juga berharap bahwa pembangunan IKN di Kalimantan Timur juga membuat budaya – budaya asli Kalimantan menjadi teramplifikasi, bukan pudar bahkan menghilang akibat gempuran kedatangan para pendatang baru ke IKN.

“Kedua risiko terhadap alam, mau bagaimana lagi karena kita sudah keburu rusak karena tambang, perkebunan – perkebunan besar, jadi bagaimana kita memberikan proteksi, memberikan prosperity terhadap alam, kepada ekologi yang ada di Kalimantan” pungkas perempuan yang mengeyam pendidikan di Teknik Planologi tersebut. Hetifah juga berharap semua mata ikut mengawasi, agar kerusakan alam tidak terjadi akibat pembangunan IKN.

Pengajar di program studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB Teti Armiati Argo juga berpandangan ada biaya – biaya yang membuat pembangunan IKN tidak dimulai dari nol. “Kita bukan  berada pada titik nol tapi dalam beberapa situasi kita berada di titik negatif tersebut, sehingga ketika IKN ini akan dibangun kita tidak memulai dari titik nol, yang selama ini terbagi ke dalam berbagai pihak yang merasakan dampak negatif tersebut” ujar Teti.

Adapun biaya – biaya negatif tersebut ditimbulkan akibataktivitas perkebunan, pertanian, pertambangan. “Dan juga beberapa ongkos – ongkos yang keluar karena situasi yang agak berbeda ya kondusifnya seperti kerukunan antar suku, lalu juga cost sosial ekonomi yang ada sekarang karena bertumpu pada ekonomi yang ekstraktif,” sebut Teti, sembari ia berharap pembangunan IKN akan merevisi orientasi ekonomi yang ada di Kalimantan dalam bentuk – bentuk baru. (ADH)