Stasiun MRT Lebak Bulus Jakarta Selatan (Foto: MRT Jakarta)
Wakil Ketua Umum The HUD Institute, Yayat Supriatna menjelaskan, terkait isu hak pengelolaan TOD harus mampu mengakomodasi kepentingan hunian dan transportasi publik.
“Kemudian, siapa calon penghuni TOD? Pengguna transportasi publik atau bisnis penyediaan perumahan. Kalau mengacu kepada transportsi publik, pengguna publik transport, maka rata rata generasi muda dengan kemampuan daya beli rumah yang rendah,” ujarnya.
Menurut Yayat, perlu adanya kebijakan rumah sewa atau dukungan subsidi kepemilikan rumah. Atau melakukan konsep co-housing, mengubah gedung-gedung perkantoran saat ini yang sepi untuk diubah sebagian menjadi hunian. Komposisi perubahan peruntukan ini adalah perkantoran berbanding hunian yakni 30:70. Untuk memanfaatkan gedung kosong di sepanjang koridor TOD di jalur utama MRT atau transportasi.
Butuh Payung Hukum
Pada kesempatan yang sama, Muhamad Joni, Wakil Ketua The HUD Institute menegaskan, perlu adanya payung hukum yang kuat karena pengelolaan kawasan TOD Jabodetabekpunjur melibatkan lintas daerah dan lintas provinsi. Dalam pelaksanaan TOD melibatkan tiga isu utama, yakni perkotaan, perumahan, dan transportasi yang berdimensi kepentingan publik. Sedangkan regulasi yang ada seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Perhubungan masih pada muatan aturan kebijakan (beleidsregel).
“Untuk menjawab beban perkotaan, penting dan strategis untuk diusulkan adanya UU Pembangunan Perkotaan dan Perumahan. UU itu memasukkan materi pengaturan pengembangan TOD dengan asas konektivitas dan aksesibilitas dengan metode omnibus yang harmoni dan efektif,” beber Joni.
Lebih jauh Joni mengatakan, pembangunan TOD bisa menjadi jurus mengatasi solusi perkotaan, perumahan dan transportasi.”Tentu menjadikannya kota publik yang layak dan terjangkau bagi warga kota,” tambahnya. (BRN)
