
Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Jakarta – Jangan meletakkan telur dalam satu keranjang. Agaknya, petuah bijak dalam berinvestasi ini menjadi alasan bagi Yohanes, bukan nama sebenarnya, saat memutuskan membeli satu unit rumah susun sejahtera milik (rusunami) berukuran 36 meter persegi. Namun apa daya untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bukan cuan yang dia peroleh, justru tagihan denda menggunung yang datang.
Permasalahan bermula ketika Yohanes membeli unit hunian vertikal di bilangan Jakarta Barat. Tergiur dengan harga relatif murah, yakni Rp 34 juta, ayah dua anak itu pun melakukan transaksi pembelian unit rusunami melalui proses lelang pada 23 Desember 2003 silam.
“Saya menyewakan unit rusun itu dengan bantuan jasa broker untuk pemasarannya. Namun, dalam perjalanannya, si penyewa itu kabur. Belakangan, pihak broker yang bantu mencarikan penyewa juga sudah tidak ada lagi,” demikian tulis Yohanes dalam kronologis persoalan yang disampaikannya kepada redaksi industriproperti.com, Minggu, 14 Maret 2021.
Beberapa tahun berselang, Yohanes mengaku alpa bahwa dia memiliki unit tersebut. Hal ini kemungkinan karena sudah tidak ada lagi pihak ketiga (broker) yang dipercaya untuk mengelola asetnya. “Saya mengakui telah lalai sehingga tidak pernah lagi mengurus unit rusun itu. Akibatnya, unit itu kini dalam kondisi terkunci karena anak kuncinya dibawa oleh penyewa terakhir,” ujarnya.
Persoalan tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Karena kealpaannya itu, Yohanes tidak membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) sejak Desember 2013. Khilaf itu harus dia tebus dengan sangat mahal. Pasalnya, pihak Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) menjeratnya dengan denda yang luar biasa besar.
“Saya harus membayar utang IPL sebesar Rp 27 juta, dan ditambah dengan denda sebesar Rp 138 juta. Akibat keterlambatan membayar IPL, saya harus bayar denda yang besarannya lebih dari 500 persen,” tandas Yohanes.
Konflik Pemilik Vs Pengelola Rusun
Yohanes merasa keberatan atas sanksi keterlambatan pembayaran IPL. Dalam korespondensi kepada PPPSRS, medio Februari 2021 kemarin, dia mengutarakan permohonan keringanan denda. “Sebagai bentuk itikad baik, saya sudah menyatakan akan membayar kewajiban pokok IPL sebesar Rp 27 juta, sembari menunggu proses negosiasi,” ucapnya.
Namun, dalam surat balasan yang dia terima, pihak Pengawas Rusun menyatakan menolak permohonan keringanan denda. “Kami memahami itikad baik saudara. akan tetapi semua unit di Rusun ini diberlakukan sama tanpa ada pengecualian baik Pengurus ataupun Pengawas,” sebut Pengawas dalam surat tertanggal 17 Februari 2021.
Pengawas menulis, nilai denda yang berlaku telah dirapatkan Pengurus dan Pengawas. “Oleh karena itu, kami selaku Pengawas dengan berat hati menolak permohonan keringanan nilai denda unit yang saudara ajukan. Bila kami memenuhi permohonan saudara, artinya kami melanggar keputusan yang telah disetujui,” tulis Pengawas itu.
Tak lama setelah surat dari Pengawas itu dia terima, Yohanes kembali menerima surat. Kali ini surat itu diteken oleh Ketua dan Sekretaris PPPSRS. Lucunya, dalam surat kali ini, Pengurus PPPSRS menyatakan akan memberikan sejumlah keringanan pembayaran denda.
“Tagihan pokok dari invoice Desember 2013 sampai dengan Januari 2021 sebesar Rp 27 juta merupakan tagihan yang tidak dapat dikurangi atau hapus. Adapun tagihan denda Rp 7.500 per m2 periode dibawah 2016 sejumlah Rp 11 juta akan mendapat keringanan sebesar 50 persen. Sehingga denda yang harus dibayar adalah Rp 5,6 juta,” tulis Pengurus PPPSRS.
Ironisnya lagi, imbuh Yohanes, pihak PPPSRS telah menetapkan besaran denda keterlambatan periode 2016 – 2021 yakni Rp 50 ribu per m2. “Saya sangat keberatan dengan denda Rp 50 ribu per m2 per bulan. Denda sebesar itu sangat berlebihan dan memberatkan pemilik unit. Nominal denda itu berdasarkan Tata Tertib Rusun yang belum disetujui oleh seluruh penghuni maupun pemilik unit,” ucap Yohanes.
Menurut dia, idealnya besaran denda keterlambatan pembayaran IPL itu mengacu pada bunga komersial perbankan. “Untuk rusun tanpa lift yang nilai jualnya sekarang hanya sekitar Rp 200 juta-an, nilai denda sebesar Rp 50 ribu per m2 sangat tidak masuk akal,” tegasnya.
Selain utang pokok IPL dan denda keterlambatan pembayaran, lanjut Yohanes, pihaknya juga harus membayar uang prasarana sebesar Rp 30 juta. “Total keseluruhan yang harus saya bayar hampir mencapai Rp 180 juta. Padahal, unit rusunami milik saya itu di lantai paling atas, yakni lantai lima. Jadi jarang ada peminatnya karena rusunami ini tidak ada lift atau fasilitas penunjang bagi penghuni. Kalau pun unit ini saya jual, harganya paling sekitar Rp 150 juta hingga Rp 175 juta. Artinya saya harus bayar lebih mahal daripada harga jual unitnya,” ungkap Yohanes.
Yohanes tetap berharap adanya penyelesaian secara kekeluargaan terkait persoalan denda keterlambatan pembayaran IPL. “Saya tetap akan meminta kebijaksanaan dari pihak pengelola rusun untuk memberikan keringanan terkait denda-denda tersebut,” pungkasnya. (BRN)