Aturan Lahan Sawah Dilindungi Hambat Investasi di Daerah

Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Jakarta – Aturan terkait penetapan peta lahan sawah yang dilindungi (LSD) pada delapan wilayah di Indonesia berpotensi menghambat investasi di daerah. Idealnya, peta LSD terintegrasi dengan data pemerintah daerah (pemda) dan Kantor Pertanahan setempat sehingga tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota (RDTRK).
“Seharusnya kebijakan LSD terintegrasi dengan Pemda dan Kantor Pertanahan setempat. Jangan sampai penetapan lokasi LSD justru menghambat investasi bagi pelaku usaha yang memanfaatkan ruang,” tegas Wakil Ketua Umum Koordinator Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Hari Ganie, saat berbincang bersama industriproperti.com, di Jakarta, Selasa, 8 Maret 2022.
Aturan terkait LSD tertuang dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta LSD pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hari berharap, Kementerian ATR/BPN terlebih dahulu melakukan konsolidasi dan tidak langsung menetapkan peta LSD. Silakan benahi dahulu, meskipun untuk tujuan swasembada pangan, tapi penetapan lokasinya harus mempertimbangkan berbagai aspek
Jauh sebelum hadirnya ketentuan terkait lahan sawah dilindungi, lebih dulu terbit Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Beleid ini bertujuan untuk perlindungan dan pengembangan areal pertanian guna kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Bentuk perlindungan ketersediaan pangan itu sejalan dengan penetapan kawasan untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) oleh Kementerian Pertanian.
“Belakangan, Kementerian ATR/BPN bersama Kementerian PUPR menginventarisasi areal pertanian yang harus tetap ada dengan sejumlah kriteria. Misalnya, areal persawahan yang harus tetap ada adalah kawasan dengan ketersediaan irigasi teknis,” ujar Hari.
Pengembang Keberatan
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Banten Roni Hardiriyanto Adali mengatakan, pihaknya menolak penerapan Permen ATR/Kepala BPN terkait LSD. Pasalnya, kebijakan LSD bakal menuai masalah bagi pengembang di semua strata yang ada. “Penerapan aturan LSD akan memicu masalah. Tidak hanya pengembang perumahan kategori MBR, tapi juga pengembang rumah skala besar bakal terkena imbasnya,” tandas Roni.
Roni menegaskan, penerapan LSD bakal berdampak negatif terhadap investasi di daerah. “Kami menolak aturan ini karena mengganggu investasi. Lahan untuk investasi semakin menciut karena benturan dengan ketentuan terkait ketahanan pangan nasional,” ujarnya.
Ketua Forum Komunikasi Pengusaha (Forkas), M Turino Junaedy menyayangkan penetapan LSD karena tidak memperhatikan prinsip harmonisasi kepentingan seluruh pihak. Terbukti dengan adanya penetapan LSD oleh Kementerian ATR/BPN justru menimbulkan tumpang tindih dengan RTRW di daerah.
“Penetapan luas areal LSD berbeda dengan LP2B. Pola lahan LSD yang ditetapkan tersebar secara acak dan memanjang,” ujar Junaedy. (BRN)