Banjir Jabodetabek Ibarat Tim Sepakbola, Kebobolan Terus…

0
803

Jakarta – Sejumlah wilayah Ibu Kota Jakarta terendam banjir dalam beberapa hari terakhir. Banjir juga melanda kota-kota penyangga di sekitarnya, yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, atau biasa disebut Jabodetabek.

Melihat fenomena banjir yang berulang, Ketua Umum Pengurus Nasional Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Hendricus Andy Simarmata menganalogikan banjir Jadetabek ini seperti permainan sepakbola yang dibiarkan kebobolan terus-menerus. “Ada pemain belakang yang sering kebobolan, pemain tengah yang mudah kecolongan bola, dan pemain depan yang tumpul tidak bisa mencetak gol,” tukas Andy kepada redaksi industriproperti.com, Minggu  21 Februari 2021.

Pemain belakang (kiper dan bek) yang dimaksud Andy adalah wilayah di bagian hulu, yang sering kebobolan akibat perubahan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali. “Hulu sebagai lini pertahanan sudah sering kebobolan. Konservasi lahan masih berjalan lamban hingga lahan utk serapan air sangat minim, yang pada akhirnya memicu banyak limpasan,” tegas Andy.

Sedangkan analogi pemain tengah adalah wilayah seperti Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan sering kali kehilangan bola. Perumpamaan ini akibat banyaknya setu alam yang tidak terlindungi, hingga minimnya pembangunan polder untuk mengantisipasi banjir.

“Harusnya, daerah-daerah tersebut bisa melindungi dan memperkuat fungai setu-setu alam yang sudah ada. Keberadaan setu akan bermanfaat saat hujan deras terjadi, karena bisa menjadi tempat penampungan air yang sangat efektif,” ungkap Andy yang juga merupakan Urban Reader pada Thamrin School of Sustainability and Climate Change.

Lebih lanjut menurut Andy, daerah-daerah bagian tengah itu juga harus bisa menambah sempadan setu melalui penghijauan maupun polder yang dilakukan secara rutin dan terencana untuk mengurangi risiko terjadinya banjir.

Adapun Jakarta ibaratkan pemain depan yang tumpul. “Giant sea wall belum terbangun, polder dan sungai masih harus terus dikeruk sehingga kita juga kesulitan mencegah banjir rob,” tukas Andy.

Andy juga melihat bahwa early warning system (sistem peringatan dini) banjir di Jakarta tidak berjalan baik. Pun dengan kesiapan infrastruktur pengendalian banjir yang kapasitasnya tidak cukup menghadapi cuaca ekstrim.

“Wilayah metropolitan Jakarta lebih banyak memperhatikan aspek ekonomi ketimbang aspek lingkungan. Kita lebih banyak membangun infrastruktur untuk kepentingan ekonomi, daripada infrastruktur ekologis untuk kepentingan lingkungan,” kritik pengajar perkotaan di Universitas Indonesia.

“Genangan bisa terjadi, yang paling penting ialah bagaimana meminimalisasi dampak kerugian yang terjadi pada masyarakat. Kalau kita tidak pernah mau belajar, maka siap-siap saja setiap awal tahun akan terus terjadi banjir seperti saat ini,” tegas Andy.

Masih dalam analogi permainan sepakbola, sebenarnya taktik untuk tidak banjir lagi sudah ada termuat dalam tata ruang Jabodetabek. “Gameplan sudah ada, walaupun belum terbukti siap terhadap kondisi curah hujan terburuk. Hanya dengan konsistensi menjalankan gameplan tersebut, kita bisa siap menghadapi risiko banjir,” tegas penulis buku berjudul ‘Phenomenology in Adaptation Planning: An Empirical Study of Flood-Affected People in Kampung Muara Baru Jakarta‘. (BRN)