Begini Aturan P3SRS di Empat Negara ASEAN

Jakarta – Aturan mengenai Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) adalah salah satu ketentuan yang menjadi pertimbangan setiap global investor untuk memilih berinvestasi pada bangunan tinggi (high-rise building).
Dalam rangka berbagi pengetahuan guna meningkatkan investasi pada bangunan tinggi, pada 17 Februari 2021, FIABCI Asia Pasific mengadakan sharing knowledge secara virtual dengan perwakilan FIACI Indonesia Rusmin Lawin, FIABCI Singapura Teo Poh Siang, FIABCI Malaysia Chris Tan dan FIABCI Thailand Soporn Pornchokchai, untuk mempelajari peraturan P3SRS di negara masing-masing.
“Jika tidak ada yang meminta untuk dipilih menggunakan sistem polling NPP (red – Nilai Perbandingan Proporsional), maka perhitungan suara dihitung melalui jumlah unit yang dimiliki, atau yang dikenal ‘One Unit, One Vote’,” sebut Chris Tan yang juga berprofesi sebagai praktisi hukum asal Malaysia dengan spesialisasi di bidang Management Corporation Strata Title.
Menurut Chris aturan mengenai P3SRS ini sudah berlangsung selama enam tahun (red- sejak 2015), direvisi dari aturan yang sebelumnya secara penuh menggunakan NPP.
Lebih lanjut, berdasarkan Strata Management Act 2015, setiap pemilik unit satuan rumah susun di Malaysia dapat menduduki satu kursi (jika terpilih) dari maksimal 13 (tiga belas) kursi yang tersedia. Jika ada pemilik unit 20 persen dari keseluruhan unit yang tersedia, maka pemilik tersebut dapat menduduki 20 persen dari kursi yang tersedia. Namun, jika ada pemilik yang memiliki lebih dari 50 persen unit yang tersedia, pemilik tersebut hanya berhak untuk mendapatkan 49 persen dari jumlah kursi unit terbanyak.
“Ini adalah solusi dari Pemerintah Malaysia untuk menghindari terjadinya tirani minoritas maupun tirani mayoritas.” lanjut Chris yang juga merupakan Founder Chur & Associates tersebut.
Sedikit berbeda dengan Malaysia, Singapura menggunakan istilah ‘One Lot, One Unit’. “Berbeda dengan Malaysia, di Singapura satu lot besar punya jumlah suara yang sama dengan satu lot kecil. Namun hukum Singapura memperbolehkan pemilik lot besar tersebut agar dapat memecahkan lot besar menjadi beberapa lot yang kecil,” ujar Teo Poh Siang menjelaskan aturan P3SRS di Singapura. Teo juga menjelaskan bahwa aturan mengenai P3SRS di Singapura ini termuat secra lengkap dalam Building Maintenance and Strata Management Act.
Sedangkan Thailand memberlakukan NPP sepenuhnya untuk pemilihan pengurus PPPSRS. “Secara keseluruhan peraturan ini dirasa sudah cukup adil bagi pengembang maupun pemilik,” jawab Teo, President ASM.
Berbeda dengan tiga negara ASEAN lainnya, di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 23 Tahun 2018 memberlakukan ‘One Man One Vote’ dalam pemilihan pengurus P3SRS di bangunan tinggi, termasuk dalam bangunan mixed-used yang memuat apartemen hunian hingga pusat perbelanjaan.
Aturan P3SRS di Indonesia juga berbeda daripada tiga negara lainnya dalam soal pemberian hak suara. Di Thailand tidak ada pembatasan pemberian kuasa terhadap hak suara. Adapun di Malaysia, pemberian kuasa untuk hak memilih dapat diberikan kepada siapa saja (baik saudara maupun penyewa). Tapi dengan ketentuan bahwa satu orang hanya dapat menerima satu kuasa.
Sedangkan di Singapura hak suara dapat diberikan kepada siapa saja yang berusia lebih dari 21 tahun. “Tidak ada pembatasan. Tidak ada pembatasan sama sekali secara pribadi. Kecuali umur 21 tahun. Namun, per orang hanya dapat menerima kuasa sebesar 2 persen dari jumlah lot yang ada,” tegas Teo yang spontan merasa aneh dengan aturan di Indonesia.
Memang praktik yang ada di Thailand, Malaysia, dan Singapura sangat berbeda dengan ketentuan yang saat ini berlaku di Indonesia. Di Indonesia, pemberian kuasa hak memilih hanya dapat diberikan kepada keluarga yang harus terikat secara darah (saudara derajat pertama) atau direksi yang disebut dalam akta pendirian sebagai penerima kuasa (bagi perusahaan yang memiliki unit).
Para peserta sharing knowledge yang hadir pada kesempatan tersebut sepakat bahwa Indonesia perlu memperbaiki aturan soal bangunan tinggi. Bukan hanya agar dapat comply terhadap international best practices sehingga memudahkan investor untuk menentukan berinvestasi, tetapi juga agar dapat memberikan kenyaman bagi semua pemilik rusun.
Sebagai negara yang masih belia dalam membangun dan meregulasi pengelolaan rumah susun, Indonesia juga dirasa perlu belajar dari negara – negara tetangga yang sudah jauh lebih berpengalaman seperti Singapura dan Malaysia.
Terlebih di Singapura, yang hampir seluruh penduduknya tinggal di bangunan tinggi. Kenyamanan penduduk Singapura untuk tinggal di rusunami juga tidak terlepas dari aturannya mengenai rumah susun yang telah diamandemen sekitar tiga puluh satu kali, sejak pertama kali terbit tahun 1967.
Sedangkan di Indonesia, aturan rumah susun pertama kali terbit tahun 1985 dan baru satu kali diamandemen. (ADH & BRN)