Daerah akan “Dipaksa” Percepat Pengesahan Perda RTDR

0
340

JAKARTA – Salah satu poin penting di dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) atau Omnibus Law Ciptaker adalah menyangkut penyelenggaraan tata ruang khususnya yang berhubungan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Banyak kritik jika kewenangan pemerintah daerah dalam penataan ruang bakal terkikis.

UUCK dituding menghapus sejumlah kewenangan pemerintah daerah (Pemda) baik provinsi maupun kabupaten/kota seperti yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Benarkah demikian?

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) Abdul Kamarzuki, yang juga salah satu tim penyusunan UUCK bidang penataan ruang membantah kekhawatiran daerah tersebut.

“Sama sekali tidak ada (pengurangan kewenangan daerah). Yang ada adalah pembatasan waktu penetapan RTRW/RDTR (Rencana Tata Ruang Wilayah/Rencana Detail Tata Ruang). Namun UUCK menegaskan supaya penetapan RDTR/RTRW perlu dipercepat guna memberikan kepastian hukum,” kata Uki, demikian dia akrab disapa, baru-baru ini.

Pengalaman selama ini, banyak RTRW/RTDR telah mendapat persetujuan substansi (Persub) dari Ditjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN untuk menjadi Peraturan Daerah (Perda), namun prosesnya terlalu lama. Nantinya akan diberikan batas waktu atau deadline kepada Pemda untuk menentukan dan mengesahkannya.

Kalau dalam dua bulan usai persub diberikan tidak kunjung disahkan Perda tata ruangnya, jelas Uki, maka bisa ditetapkan dengan Pergub atau Perwali/Perbup dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPRD.

“Kalau satu bulan tidak juga ditetapkan Pergub/Perwali/Perbup-nya, baru pemerintah pusat akan mengambilalih untuk disahkan. Sekarang kita sedang carikan rumusannya apakah persub otomatis bisa Pergub/Perwali/Perbup, atau ditetapkan sebagai peraturan menteri (Permen) atau Peraturan Presiden (Perpres),” kata dia.

Jadi sama sekali tidak benar pemerintah pusat ambilalih kewenangan daerah. Substansinya semua masih tetap berada di daerah. Pertimbangan UUCK, menurut Uki, lebih kepada masalah waktu dan ukuran waktu itu sudah dihitung dan simulasikan ideal untuk diterapkan. Contohnya saat ini sudah ada tiga daerah yang Perda-nya bisa keluar kurang dari waktu sebulan.

Untuk itu, pemerintah pusat hanya membuat NSPK (Norma Standar Pedoman Kriteria). Standar perlu karena produk RDTR akan menjadi “mesin” pelaksanaan Online Single Submission atau OSS yang berbasis teknologi digital. Supaya penyusunan RDTR standar di seluruh Indonesia, maka dikawal dengan NSPK tadi.

Saat ini, ungkap Uki, ada 62 RDTR yang sedang diproses menjadi Perda, tetapi yang sesuai standar dan dapat dinaikkan baru 22 RDTR. Yang belum kebanyakan adalah Perda yang terbit sebelum aturan standar berlaku, sehingga memerlukan treatment lebih karena penyajiannya berbeda-beda.

Abdul Kamarzuki

“Ada yang beda warna, beda penulisan dan sebagainya. Kalau beda-beda kan OSS bingung bacanya, sehingga mutlak perlu ada standar acuan. Oleh karena itu, semua daerah perlu segera menerapkan standar ini dalam penyusunan RDTR. Kalau perlu bantuan teknis, kami akan siapkan tenaga ahli dari pusat,” ujar Uki.

Ikut Standarisasi

Ke depan, seluruh RTRW/RDTR harus ditampilkan dalam bentuk digital, karena kalau tidak maka OSS sulit membacanya. Jika ini terjadi justru akan menyulitkan Pemda dalam pelayanan seluruh perizinan di daerahnya. Karena itu, maka standarisasi mutlak dilakukan daerah sehingga dapat diakses publik secara terbuka.

“Digitalisasi dan keterbukaan RDTR jelas menguntungkan publik termasuk pelaku usaha karena nanti lebih mudah mengakses rencana tata ruang. Dan RTRW/RDTR tersebut harus disebarluaskan, tidak boleh lagi diumpetin di bawah meja lagi,” seloroh Uki.

Jadi intinya, pengendalian memang ada di pusat. Tetapi dalam artian pusat membuat norma standarnya. Kewenangan Pemda secara teknis tetap, tetapi daerah wajib mengikuti standar pedoman dan batasan waktu yang sudah ditetapkan pusat. (MRI)