JAKARTA – Komitmen Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono untuk selalu berkoordinasi dan melibatkan asosiasi usaha bidang properti dalam penyusunan setiap kebijakan termasuk aturan turunan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) mendapat respon positif dari sejumlah kalangan. Pernyataan tersebut diharapkan menjadi angin segar bagi kebangkitan kembali industri properti terlebih sektor perumahan rakyat.
Menteri PUPR dalam Focus Group Discussion (FGD) “Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional Melalui Sektor Perumahan” yang diadakan Senin (28/12) menegaskan bahwa pihaknya selalu berkoordinasi dengan semua stakeholder dan asosiasi dalam setiap pembuatan kebijakan. Upaya itu dimaksudkan supaya setiap kebijakan yang dikeluarkan dapat diimplementasikan di lapangan.
“Saya kira tidak ada satu pun policy (kebijakan) dari Kementerian PUPR termasuk di bidang properti yang tidak berkoordinasi dengan stakeholder dan asosiasi. Pertanyaan pertama saya soal kebijakan yang dibuat adalah apakah ini sudah dibahas atau belum dengan REI (Realestat Indonesia) dan asosiasi perumahan lainnya? Karena kalau belum, maka percuma saja kami keluarkan kebijakan kalau nantinya tidak bisa dilaksanakan,” kata Menteri Basuki pada diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI tersebut.
Dalam FGD tersebut, selain Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, hadir pula Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin sebagai keynote speaker, dan narasumber lain seperti Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A. Djalil, Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata, Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, dan Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida.
Lebih lanjut Menteri PUPR menyebutkan, supaya bisa diimplementasikan maka setiap rencana kebijakan harus didiskusikan dengan asosiasi. Termasuk kebijakan yang berkaitan dengan peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja dia meyakini sudah dikomunikasikan sehingga berbagai hambatan dalam pelaksanaannya dapat diantisipasi.
“Soal hunian berimbang misalnya, tadi seperti arahan dari Pak Sofyan Djalil (Menteri ATR/BPN), bisa dilakukan tidak dalam satu hamparan. Bahkan setelah didiskusikan lagi bisa dalam satu provinsi atau kabupaten/kota, atau dikonversikan menjadi rumah susun (rusun),” jelas Menteri PUPR pada diskusi yang dilakukan secara virtual tersebut.
Hal-hal seperti inilah, yang menurut Menteri Basuki perlu disepakati bersama sebelum nantinya dibawa ke Kemenko Perekonomian untuk diatur dalam RPP, Ranperpres dan sebagainya. Dengan begitu, saat regulasinya selesai bisa segera dijalankan.
Dia setuju bahwa semangat UUCK untuk memberikan kemudahan perizinan berusaha dan membuka lapangan kerja harus terus dijaga. Namun di sisi lain, sebagai regulator pemerintah pun harus tetap memperlihatkan dukungan perlindungan kepada konsumen.
Sebagai Pegangan
Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI bidang Regulasi dan Investasi, MT Junaedy yang dimintai tanggapannya sangat menyambut baik komitmen Menteri PUPR tersebut dan REI bersama asosiasi di bidang properti lainnya selalu siap untuk diajak berkoordinasi dan mencari solusi terbaik terhadap berbagai persoalan yang ada.
“Pernyataan itu sangat melegakan sekali, dan komitmen ini menjadi pegangan bagi semua stakeholder termasuk dari asosiasi properti dan perumahan. Kami tentu berharap komitmen ini juga dipegang oleh seluruh perangkat kerja di Kementerian PUPR dalam pembuatan setiap kebijakan,” ungkap Junaedy yang dihubungi, Rabu (30/12).
Menurut dia, REI sangat mendukung adanya kemudahan usaha dengan tetap menjaga etika berbisnis termasuk pentingnya menjaga perlindungan konsumen. Bahkan di dalam kepengurusan DPP REI saat ini ada Waketum yang khusus membidangi advokasi dan perlindungan konsumen. Selain itu, secara rutin dalam empat tahun terakhir ini REI secara intensif menyelenggarakan diklat bagi anggota di seluruh daerah yang melibatkan PUPR, perbankan, dan stakeholder lainnya.
“Kami sependapat bahwa perlu pembenahan bersama dari semua sisi, sehingga UUCK dan aturan turunannya ini diharapkan menjadi penyeimbang atas kondisi yang ada sehingga kemudahan berusaha yang didapat tetap menjaga etika berbisnis,” tegas Junaedy.
REI menilai kurang tepat apabila kesalahan yang dilakukan oleh 1-2 pengembang nakal “dosanya” ditimpakan kepada 15 ribu pengembang lain di industri properti dengan membuat kebijakan yang mempersulit kegiatan usaha mereka. Aturan yang terlalu ketat, menurut Junaedy, justru akan menghidupkan kapitalisme di industri properti dan mematikan pengembang menengah bawah terlebih di daerah-daerah.
Ungkapan senada disampaikan Wakil Ketua Komtap Luar Negeri Kadin Indonesia bidang Properti, Theresia Rustandi. Dia berharap Kementerian PURPR bisa berbicara dengan lebih detail kepada dunia usaha dan stakeholder terkait kebijakan-kebijakan yang akan dibuat.
“Bicara detail supaya semua jelas mana yang bisa masuk, mana yang tidak. Koordinasi jangan sekadar isi absen. Namun bisa rembukan efektif sampai ke hasilnya,” ujar Theresia.
Tidak hanya itu, dia juga berharap pemerintah khususnya Kementerian PUPR bisa melihat industri properti sebagai kesatuan yang utuh, bukan sepotong-sepotong. Menurut Theresia, industri properti bisa menjadi penggerak ekonomi negara, mengingat industri properti tidak hanya terbatas pada subsektor perumahan namun ada 12 jenis properti lainnya yang mampu menciptakan banyak lapangan kerja.
Disebutkan, stakeholder properti itu bukan hanya konsumen, namun melibatkan banyak sekali pihak. Oleh karena itu, tegas Theresia, semua stakeholder tersebut harus dilihat secara seimbang agar mampu menjadi penggerak ekonomi yang maksimal.
“Kami sangat menyambut positif adanya semangat dialog yang terbuka itu, dan sangat penting guna mencari jalan keluar terbaik dalam memenuhi cita-cita mulia UUCK,” pungkas Theresia.
Sementara itu, Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, sebuah lembaga think tank di bidang perumahan dan perkotaan, menegaskan transparansi dan keterbukaan memang wajib di dalam pembuatan kebijakan publik.
Hal itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengharuskan adanya partisipasi dan pelibatan masyarakat di dalam proses pengambilan kebijakan publik.
“Komitmen (Menteri PUPR) itu sudah betul, dan wajib hukumnya menurut undang-undang. Semangat Pak Basuki itu bagus sekali, dan secara moral ini mengikat juga untuk perangkat-perangkat di bawahnya,” ujar Zulfi.
Tetapi diakui dalam praktiknya banyak kendala baik dari sisi pemerintah sebagai pengundang maupun stakeholder yang diundang termasuk asosiasi pengembang. Akibatnya, pertemuan yang terjadi hanya bersifat formalitas dan tidak masuk ke substansi.
Oleh karena itu, dibutuhkan pembekalan dan pemahaman yang cukup dari pemerintah dan stakeholder yang dilibatkan terhadap bahasan substansi terlebih kepada apa yang menjadi kendala dan tantangan industri properti. Dikatakan Zulfi, komunikasi yang berkesinambungan terus diperlukan guna menghasilkan kebaikan bagi industri properti khususnya sektor perumahan rakyat. (MRI)