Pemerintah Berupaya Minimalisir Sengketa dan Konflik Pertanahan
JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berupaya meminimalisir sengketa dan konflik pertanahan. Upaya tersebut dilakukan karena sengketa dan konflik pertanahan dapat merugikan banyak pihak mulai dari masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.
Salah satu kerugiannya karena dapat menimbulkan biaya tidak terduga dalam proses penyelesaiannya. Untuk itu, dibutuhkan pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih baik.
“Upaya-upaya untuk mengalihkan biaya-biaya konflik tersebut menjadi biaya-biaya untuk mencegah konflik, dan membangun kelembagaan konflik serta penyelesaian konflik yang lebih baik menjadi niscaya untuk masa depan,” ujar Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra dalam keterangannya, Senin (28/3/2022).
Dia menegaskan bahwa biaya konflik adalah faktor yang bisa menjadi pengungkit sense of urgency pemerintah di dalam menangani konflik tersebut. “Rasanya memang sudah ada kesadaran itu dan juga regulasi sedang disiapkan. Tapi memang sense of crisis masih menjadi tantangan tersendiri buat kita bangun secara bertahap, paling tidak di kementerian kita,” ucapnya.
Hal penting lain, menurut Surya Tjandra, adalah konflik yang bersifat evolutif, berkembang seiring dengan waktu. Seolah-olah kalau ada pembangunan pasti menimbulkan konflik dan hasilnya mendegradasi nilai hidup masyarakat terdampak itu sendiri. Dia mengatakan, bukan itu yang pemerintah inginkan.
“Tapi kenapa bisa begitu, ini tantangan buat kita semua memikirkan, merenungkan dengan sangat, apa masalah di hulu sampai hilirnya tadi,” tutur Surya Tjandra.
Butuh suatu strategi, pilihan, dan keberanian untuk menyelesaikan konflik dari hulu ke hilir secara holistik. Masalah di hulu adalah pembangunan yang tidak merata. Di medium, soal tata kelola yang silo, sehingga penyelesaian konfliknya pun menjadi silo. Sedangkan masalah di hilir, yaitu terjadinya konflik itu sendiri yang merupakan manifestasi dari sektor hulu dan medium.
Bebani Masyarakat
Direktur Jenderal Penataan Agraria, Andi Tenrisau mengatakan, sengketa dan konflik pertanahan sangat membebani masyarakat serta merugikan secara material dan imateriel. Jika sengketa dan konflik tidak segera terselesaikan secara baik, tentunya amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi terhambat.
“Negara harus membuat kebijakan, harus mengatur sumber daya manusia (SDM), harus mengelola, termasuk harus mengawasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Harus bisa bermanfaat bagi rakyat, harus ada pemerataan manfaat, harus ada kesempatan bagi rakyat untuk menentukan manfaat sumber daya agraria itu termasuk menghormati hak-hak daripada masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut Andi Tenrisau mengungkapkan, penyelesaian konflik ataupun sengketa harus secara efektif dan efisien, termasuk siapa yang harus melakukan.
“Saya menyarankan bahwa benar alternative dispute resolution adalah bagian yang harus kita kedepankan. Pintu terakhir baru mitigasi atau pengadilan. Kita tahu bahwa ada mediasi, arbitrase, ajudikasi yang sangat bisa mempercepat dan efektif menyelesaikan itu. Saran saya yang terakhir baru kita selesaikan lewat pengadilan,” pungkasnya. (MRI)