SiPetruk Diberlakukan, Pengembang Ogah Garap Rumah Subsidi

Akibat penerapan aplikasi besutan PPDPP, diperkirakan banyak pelaku usaha pengembang perumahan setop membangun hunian khusus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
0
266

Jakarta – Sistem Pemantauan Konstruksi (SiPetruk) bakal berlaku efektif per 1 Juli 2021 mendatang. Akibat penerapan aplikasi besutan Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), diperkirakan banyak pelaku usaha pengembang perumahan setop membangun hunian khusus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

“Saat ini penjualan rumah bersubsidi sudah mulai sulit karena turunnya daya beli MBR. Di daerah kami, kini sekitar 20 persen perusahaan pengembang rumah bersubsidi berhenti beroperasi karena pangsa pasarnya makin menciut,” tukas Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPD REI) Bengkulu, E.S Ariantho, saat dihubungi industriproperti.com, Kamis, 27 Mei 2021.

Bagi Yanto, sapaan karibnya, situasinya bakal semakin pelik seiring pemberlakuan SiPetruk. Sejumlah pengembang juga sudah mulai berpikir untuk tidak lagi membangun hunian bersubsidi. “Kalau situasinya semakin sulit begini, lebih baik kami berhenti saja membangun rumah MBR. Persyaratan teknis rumah bersubsidi semakin kompleks. Bahkan menyaingi spesifikasi teknis rumah komersial,” cetus Yanto.

Diwawancarai terpisah, Ketua DPD REI Sumatera Selatan, Zewwy Salim menegaskan, pihaknya memahami tujuan positif dibalik pemberlakuan SiPetruk. Apabila PPDPP Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bergeming dan tetap memberlakukan SiPetruk, target penyediaan hunian bersubsidi bakal turun tajam.

“Kami bukan mau menolak upaya pemerintah untuk memastikan penyediaan hunian subsidi yang berkualitas. Kami sangat sepakat dengan tujuan pemberlakuan SiPetruk. Namun, waktunya saja yang kurang tepat mengingat kondisi ekonomi saat ini sedang sulit,” tegas Awi, sapaan karib Ketua DPD REI Sumsel.

Awi berharap, pada kondisi daya beli MBR belum pulih seperti sekarang, PPDPP sebaiknya hanya sosialisasi produk itu. “Nanti apabila kondisi perekonomian sudah pulih, silakan berlakukan SiPetruk. Tapi, sekarang ini cukuplah sosialisasi saja dulu,” ujarnya.

Kendala Infrastruktur
SiPetruk sangat mengandalkan koneksitas jaringan internet. Pasalnya, operasionalisasi aplikasi ini membutuhkan dukungan internet yang memadai.

“Aplikasi ini makin membebani pengembang karena ada tambahan persyaratan. Kompetensi pengembang di Papua tidak seragam. Selain itu, saat ini Papua juga terkendala terputusnya jaringan internet. Saat ini di Ibukota Provinsi Papua, Jayapura mengalami kendala koneksi internet terputus,” ucap Sekretaris DPD REI Papua, Cliff Sintiti.

Cliff memaparkan, terputusnya jaringan internet di Papua bukan hal baru. Masyarakat Papua kerap tidak dapat menikmati kemajuan teknologi informasi karena infrastruktur internet di sana kerap terputus. Problem ini rutin terjadi hampir setiap tahun dan perbaikannya pun memakan waktu cukup lama.

“Kabel fiber optik bawah laut di Jayapura terputus sehingga jaringan internet sangat terbatas. Masyarakat di Jayapura hanya bisa mengakses internet pada lokasi-lokasi tertentu dan di waktu-waktu tertentu saja,” ujarnya.

Sedangkan tarif berlangganan internet satelit (VSAT) di Papua sangat mahal. “Tarif internet VSAT di Papua sangat mahal. Kami pakai jaringan internet hanya kapasitas 128 Kbps, tarifnya sekitar Rp 8 juta hingga Rp 12 juta,” ungkapnya.

Menurut Cliff, dalam situasi saat ini saja, pengembang di Papua kesulitan untuk mendapat konsumen. “Data per April 2021, realisasi pembangunan rumah subsidi di seluruh wilayah Papua hanya mencapai 103 unit,” ucapnya.

Angka ini terendah sepanjang sejarah pembangunan rumah MBR di Papua. Sebab, kebutuhan rumah di Papua terbilang cukup besar. Hal ini mengacu pada data tahun 2017 lalu, pengembang di seluruh Tanah Papua mampu merealisasikan sebanyak 5.183 unit rumah MBR. “Kami berharap ada perbedaan perlakuan terhadap daerah dengan berbagai keterbatasan seperti yang terjadi di Papua,” pungkasnya. (BRN)