Biaya Tinggi, Pengembang Keluhkan Masih Maraknya Pungli

0
921

JAKARTA – Kalangan pengembang mengeluhkan masih maraknya pungutan liar (pungli) di sektor properti termasuk dalam pembangunan rumah bersubsidi. Kondisi itu menjadi preseden buruk bagi semangat pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang sehat di Indonesia. Pungli juga menyebabkan produksi biaya tinggi.

“Harus diakui pungli masih sering terjadi, ini berdasarkan laporan dari teman-teman di daerah. Kami selaku asosiasi tentu resah dengan situasi ini, karena pungli ini menganggu RAB (Rencana Anggaran Biaya) teman-teman pengembang di lapangan. Bagaimana kami dituntut mewujudkan harga rumah MBR yang terjangkau kalau pungli masih merajalela?,” tegas Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah kepada wartawan, baru-baru ini.

Dengan pertimbangan keresahan dari pengembang tersebut, DPP Apersi periode 2021-2025 yang baru saja dilantik, Kamis (18/3/2021) menggandeng Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Kemenkopolhukam untuk mengantisipasi dan meminimalisir kasus pungli kepada anggota Apersi di seluruh Indonesia.

“Adanya satgas saber pungli ini diharapkan dapat menekan praktik pungli di lapangan terutama soal pertanahan di BPN dan perizinan di pemerintah daerah,” ujar Junaidi.

Menurut dia, pihaknya akan lebih intens melakukan koordinasi dengan tim satgas saber pungli, termasuk nantinya melaporkan adanya praktik pungli serta kendala-kendala lain yang dialami anggota Apersi di lapangan. Sekaligus meminta pertimbangan dari satgas terkait langkah-langkah penyelesaiannya.

“Yang terpenting bagi pelaku usaha itu kan sebenarnya bagaimana kita dapat melakukan proses perizinan dan pengurusan legalitas pertanahan itu betul betul dengan biaya murah, cepat dan tepat waktu sesuai biaya resmi pemerintah. Kalau ada pungli tentu menambah biaya produksi pengembang, dan itu tidak sehat,” kata Junaidi.

Beberapa praktik pungli yang diperolehnya dari anggota antara lain dalam proses pengurusan sertifikat tanah. Dimana dari kementerian sudah jelas besar biaya yang ditetapkan, lama waktu pengurusan hingga tata cara prosedurnya. Tetapi kenyataan, pelaksanaan di lapangan berbeda jauh sekali. Oleh karena itu, asosiasi itu mengharapkan agar praktik seperti ini bisa dihilangkan terlebih di industri perumahan.

Ditanya berapa besar kisaran pungli yang diminta oknum pengawai, menurut Junaidi, angkanya bervariasi. Namun yang jelas pungli ini jumlahnya jauh lebih tinggi dari biaya resmi, bahkan dalam beberapa kasus ada yang 10 kali lipat dari biaya resmi. Selain melawan semangat pemerintah untuk menciptakan pelayanan yang transparan, pungli juga menganggu penyediaan rumah terutama bagi MBR.

“Dampaknya berpengaruh terhadap volume rumah yang bisa dibangun pengembang, karena adanya biaya tinggi di luar ketentuan resmi. Selain itu, ukuran rumah yang seharusnya bisa dibangun tipe 36, mugkin terpaksa dikurangi menjadi hanya tipe 30. Sementara di sisi lain, harga jual rumah subsidi dibatasi pemerintah,” ujar Junaidi.

Junaidi Abdillah/Foto Istimewa

DPP Apersi dan Satgas Saber Pungli Kemenkopolhukam dalam waktu dekat akan melakukan roadshow ke DPD-DPD diseluruh Indonesia yang selanjutnya diharapkan dapat menyampaikan semangat penghapusan praktik pungli ini kepada pemerintah daerahnya masing-masing.

Penerapan SiPetruk

Menyinggung rencana penerapatan aplikasi Sistem Informasi Pemantauan Konstruksi (SiPetruk), menurut Junaidi, pihak PPDPP (Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan) selaku perwakilan pemerintah dalam pembiayaan perumahan sebaiknya memastikan dulu semua sistem yang menjadi penunjang penerapan SiPetruk sudah efektif.

“Jangan kalau ada kebijakan langsung diterapkan, tetapi pastikan dulu sistemnya berfungsi. Jangan di lapangan malah sering error. Itu dampaknya sangat berat kalau sampai aplikasi down, sehingga dapat menghambat realisasi teman-teman,” ungkap Junaidi.

Sedangkan kepada perbankan dia berharap tidak mudah membatalkan atau menolak pengajuan kredit KPR. Menurut Junaidi, kasihan MBR yang sudah susah payah mengurus syarat-syarat pengajuan kredit seperti surat administrasi dari tempat kerja dan surat kependudukan lain, karena mengurusnya tentu butuh waktu dan biaya. (MRI)