Harga Rumah Subsidi Tak Naik, REI Usulkan Relaksasi Ini

0
1222

Jakarta – Asosiasi Realestat Indonesia (REI) menilai pertimbangan untuk tidak menaikkan harga jual rumah bersubsidi di tahun 2021 masih belum menyeluruh karena belum mempertimbangkan beban biaya yang harus ditanggung oleh pengembang selain biaya konstruksi. Untuk itu, REI mengusulkan sejumlah relaksasi serta terobosan dalam upaya menjaga terjaminnya rantai pasokan dan daya beli masyarakat.

“Kami mengharapkan agar pengembang diberikan relaksasi dan kemudahan agar dapat bertahan mampu menyelesaikan kewajiban-kewajiban kepada pihak ketiga,” ucap Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Bidang Perbankan, Umar Husin, saat berbincang dengan industriproperti.com, Senin, 11 Januari 2021.

Adapun relaksasi yang diusulkan oleh REI, diantaranya agar bank pelaksana kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi dapat menyederhanakan serta memperbaiki prosedur akad KPR dan pencairannya. “Bank pelaksana KPR bersubsidi sebaiknya juga tidak hanya fokus pelayanan kepada aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri, serta pegawai swasta yang berpenghasilan tetap saja. Namun juga dapat menyasar kepada calon nasabah yang berpenghasilan tidak tetap atau pekerja sektor informal dengan persyaratan tertentu,” ujarnya.

Kepada otoritas perbankan, imbuh Umar, pihaknya juga mengusulkan agar dapat mendorong penurunan tingkat bunga kredit. “Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat mendorong penurunan tingkat suku bunga bank seiring telah diturunkannya BI Rate 7-Day Repo Rate (BI-7DRR) saat ini yakni 3,75 persen. Ini adalah penurunan suku bunga BI-7DRR terendah sepanjang sejarah,” tegasnya.

Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memastikan tidak menaikkan harga jual rumah bersubsidi untuk tahun ini. Keputusan itu disampaikan dalam Surat Edaran Nomor: KU 0601 – DP/02 tentang Harga Jual Rumah yang Dapat Dibeli Menggunakan KPR Bersubsidi dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) Tahun 2021 tertanggal 7 Januari 2021 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Eko Djuli Heripoerwanto.

Ada empat poin yang mendasari keputusan tersebut. Pertama, tidak adanya kenaikan biaya konstruksi yang signifikan sepanjang tahun 2020. Kedua, inflasi perdagangan besar sektor konstruksi sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember 2020 (year on year) sebesar 0,97.

Ketiga, sesuai data aplikasi Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKasep), pasokan rumah yang siap akad per 7 Januari sebesar 227.183 unit, melebihi target penyaluran KPR Bersubsidi dan BP2BT tahun ini yakni 212.066 unit. Keempat, tidak adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2020.

Batasan Penghasilan

DPP REI juga mengusulkan agar perhitungan batasan penghasilan kelompok sasaran yang dapat memanfaatkan KPR Bersubsidi berdasarkan gaji atau upah pokok pemohon per bulan. Saat ini, batasan penghasilan itu menggunakan perhitungan total penghasilan bersih yang diterima calon nasabah yang angkanya maksimal sebesar Rp 8 juta per bulan.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor: 242/KPTS/M/2020 tentang Batasan Penghasilan Kelompok Sasaran Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Bersubsidi, Besaran Suku Bunga/Marjin Pembiayaan Bersubsidi, Lama Masa Subsidi dan Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah, Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dan Satuan Rumah Susun Umum, Batasan Luas Tanah dan Luas Lantai Rumah Umum Tapak, Luas Lantai Satuan Rumah Susun Umum Serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.

“Kami mengusulkan kepada Pemerintah bahwa untuk batasan penghasilan kelompok sasaran yang dapat memanfaatkan KPR Bersubsidi dihitung berdasarkan gaji/upah pokok pemohon per bulan,” kata Umar.

Pemerintah juga diharapkan dapat mempercepat operasionalisasi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). “Dengan beroperasinya BP Tapera, diharapkan dapat menambah sumber-sumber pembiayaan perumahan,” tutupnya. (BRN)