Jakarta – Pemerintah diminta segera merealisasikan penyaluran program Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) hunian bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pasalnya, belum terbitnya alokasi dana program itu menjadi alasan masih tertundanya penyaluran dana bagi Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP).
“Kendati kedua program ini berbeda, namun dari informasi yang kami terima bahwa bank pelaksana KPR FLPP belum dapat melakukan akad KPR FLPP selama program SBUM belum berjalan,” ucap Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Sukiryanto saat dihubungi industriproperti.com, Sabtu, 23 Januari 2021.
Padahal, kata Sukiryanto, bank pelaksana mengemban tugas menyalurkan sedikitnya 80 persen dari total kuota KPR bersubsidi yang telah diterimanya per April 2021. Apabila bank tidak dapat memenuhi kewajibannya, siap-siap saja kuota tersebut akan ditarik oleh Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Berdasarkan informasi dari PPDPP, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) SBUM 2021 segera terbit pekan depan, sehingga PKO dengan bank pelaksana SBUM bisa segera ditandatangani,” kata Sukiryanto yang mengutip pernyataan Direktur Utama PPDPP Arief Sabaruddin dalam komunikasi via aplikasi WhatsApp.
Pemerintah telah menetapkan pembiayaan bidang perumahan tahun 2021 melalui KPR FLPP dialokasikan sebesar Rp 19,1 triliun, terdiri atas Rp 16,1 triliun bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rp 2,5 triliun dari dana bergulir. Berikutnya, alokasi untuk program SBUM sebesar Rp 600 miliar. Adapun total target kedua program tersebut adalah pembiayaan sebanyak 157.500 unit rumah MBR.
Stakeholder Tersandera
Sukiryanto menyebut, perbankan tersandera oleh aturan dari Kementerian PUPR yang mempersyaratkan proses akad KPR FLPP yang masih menunggu pencairan SBUM. Untuk diketahui, kewenangan kebijakan serta pengelolaan SBUM berada pada Satuan Kerja (Satker) dibawah Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian PUPR.
“Kasihan Bank Pembangunan Daerah (BPD) belum berani melakukan akad KPR FLPP. Sedangkan mereka dikejar tenggat waktu karena harus sudah menyalurkan minimal 80 persen dari total kuota yang diterimanya kepada calon debitur pada April 2021. Sekarang bulan Januari 2021 sudah hampir habis,” tukas Sukiryanto yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI).
Sukiryanto menjelaskan, efek domino dari keterlambatan penerbitan anggaran SBUM ini juga berimbas ke pelaku usaha properti. Hal ini karena akan diterapkannya aplikasi Sistem Informasi Pemantauan Konstruksi (SiPetruk) per Juni 2021 mendatang. “Rumah ready stock yang sudah dibangun oleh pengembang terancam tidak bisa terjual karena waktu pelaksanaan akad KPR FLPP dan SBUM yang hingga kini masih tertunda. Ketika aplikasi SiPetruk itu sudah diberlakukan, otomatis rumah ready stock itu tidak bisa terjual karena terbentur aturan baru aplikasi tersebut,” tegas senator asal Kalimantan Barat.
Kendati ada pembatasan agar bank pelaksana tidak melakukan proses akad KPR FLPP sebelum diterbitkannya SBUM, lanjut Sukiryanto, ternyata ada bank pelaksana yang sudah melakukan proses akad. “PPDPP mempersyaratkan bank penyalur untuk menunggu SBUM terbit. Tapi ada bank pelat merah yang sudah melakukan proses akad KPR FLPP. Mengapa bank nasional boleh, tapi BPD harus direm? Pemerintah seharusnya membuat aturan yang setara dan berlaku untuk semua,” tukasnya.
Sukiryanto juga meminta agar PPDPP bisa merelaksasi ketentuan penyaluran minimal 80 persen KPR FLPP tidak di bulan April 2021. “Kalau situasinya seperti sekarang kan mundur sebulan. Sebaiknya PPDPP juga memundurkan ketentuan penyaluran minimal 80 persen KPR FLPP-nya bagi bank pelaksana. Sedangkan untuk penerapan aplikasi SiPetruk juga harapannya bisa ditunda selama sebulan menjadi Juli 2021,” pungkasnya. (BRN)