Survival of the Fittest
Oleh: Drs. Ikang Fawzi, MBA
Di tahun 1800-an, di dalam bukunya On the Origin of Species, Charles Darwin menggunakan istilah “survival of the fittest” yang sebenarnya dicetuskan dicetuskan pertama kali oleh seorang ekonom asal Inggris Herbert Spencer yang menganalisis teori seleksi alam Darwin dengan sebuah prinsip ekonomi.
Ya dua tokoh ini memang mengakui mereka saling terinspirasi, dan keduanya pun sepakat menggunakan istilah tersebut. Tetapi, saya bukan ingin memperdebatkan siapa yang terinsipirasi siapa. Lebih menarik kalau kita justru lebih fokus pada apa yang mereka ungkap dan pesankan. Survival of the fittest.
Meski memakai kata fittest (terbugar) namun istilah itu tidaklah berkaitan dengan kebugaran fisik. Survival of the fittest adalah sebuah frasa di dalam teori evolusi untuk menyebut mekanisme seleksi alam. Dimana di dalam seleksi alam, spesies yang bisa beradaptasi akan mewariskan adaptasi tersebut kepada keturunan mereka. Atau dengan kata lain, hanya individu dengan kemampuan adaptasi yang baik saja yang akan kuat bertahan melewati zaman.
Darwin misalnya mencontohkan burung Gelatik yang dia temui selama perjalanan keliling dunia bersama kapal HMS Beagle pada tahun 1830. Burung Gelatik yang berada dibawah genus Geospiza itu memiliki perbedaan bentuk paruh yang berbeda karena menyesuaikan dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan jenis pangan yang ada di sekitarnya. Inilah spesies yang mampu bertahan hidup dan selamat dalam proses seleksi alam.
Teori “survival of the fittest” mungkin juga sangat tepat untuk menggambarkan terjadinya seleksi alam di dunia bisnis saat ini. Dimana seperti kita ketahui ekonomi dan bisnis termasuk di Indonesia sedang mengalami tekanan yang cukup besar akibat perlambatan ekonomi global dan “serangan” coronavirus.
Situasi terpuruk pun dialami di industri properti. Berdasarkan survei Bank Indonesia (BI), di kuartal I-2020 penjualan properti residensial sudah turun sampai 43,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan sedalam itu, tentu menjadi sebuah kontraksi berat bagi pengembang nasional untuk membangkitkan kembali optimistisme mereka terhadap pasar.
Tidak hanya di subsektor residensial, tetapi sektor lain juga bernasib sama. Merujuk data Realestat Indonesia (REI), sektor ritel turun 85%, hotel turun 90%, perkantoran 74,6%, dan rumah (residensial) bahkan disebutkan anjlok 50% sampai 80%. Sebuah situasi yang sulit dan memprihatinkan.
Meski di satu sisi kita harus menerima situasi (sulit) ini, namun sebaiknya pengembang jangan berlama-lama “terjebak” dalam situasi kaget ini, apalagi sampai betah berdiam diri. Sebaliknya, kita justru harus cepat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, mencari jalan keluar dan menemukan cara untuk bisa berkembang lebih besar di masa mendatang.
Pengembang harus mampu beradaptasi dengan tuntutan pasar pasca pandemi Covid-19 seperti kebutuhan teknologi informasi, situasi alam dan lingkungan yang berubah serta perilaku baru masyarakat (konsumen). Selalu ada sisi positif dari sebuah hambatan, setidaknya pandemi ini menyadarkan kita semua untuk segera melakukan efisiensi di berbagai sendi bisnis kita baik itu efisiensi modal, waktu dan cara bekerja.
Sejarah mencatat, di dunia ini yang ambruk bukan saja yang kecil atau yang lemah, tetapi juga yang besar dan kuat punya berpeluang untuk runtuh. Karena itu, ingatlah selalu frasa “survival of the fittest” yang diinsipirasikan Herbert Spencer dan Charles Darwin.
Bahwa hanya individu yang mudah beradaptasi dengan lingkungan terkini saja yang mampu selamat dan bertahan melewati zaman sesulit apapun. Jadi kuat untuk bertahan melewati tantangan di tahun kembar ini. Ya, 2020 benar-benar tahun untuk bertahan.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi IndustriProperti.com