Ini Faktor Utama Pemicu Banjir di Semarang
Jakarta – Semarang yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah dilanda banjir cukup besar akhir pekan lalu. Ada beberapa hal yang menjadi pemicunya, tapi yang utama ditengarai akibat faktor hidrometeorologi dan geologi.
“Faktor hidrometeorologi dan geologi memang faktor utama terjadinya banjir. Tapi kedua faktor itu saling berkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” kata Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jawa Tengah Agung Pangarso ketika dihubungi industriproperti.com
Dari perspektif ilmiah, penyebab banjir minggu lalu di kota yang berdiri pada 2 Mei 1547 paling tidak ada empat faktor. Pertama, banjir di Semarang disebabkan oleh faktor hidrometeorologi atau yang terkait dengan fenomena iklim dan cuaca. Dalam hal ini, banjir terjadi karena curah hujan tinggi.
“Faktor yang kedua adalah geologi. Morfologi Semarang terletak di dataran aluvial muda. Dataran yang terbentuk karena endapan kira-kira 500 sampai 1.000 tahun yang lalu. Dahulu Semarang pantainya sampai kelenteng Sam Poo Kong,” jelas Agung.
Terkait faktor geologi, ada fenomena lain,yaitu land subsidence atau penurunan muka tanah yang juga menjadi pencetus terjadinya banjir.
“Bahkan dari hasil peta monitoring badan geologi penurunan muka tanahnya mencapai lebih dari 10 cm per tahun di beberapa titik. Kondisi itu membuat daerah ini rawan banjir. Apalagi, Semarang berada di daerah pesisir sehingga muncul fenomena banjir rob sehingga surutnya agak perlu waktu. Ini menjadi tantangan yang besar untuk mengelola sebuah kota,” ungkap Agung.
Faktor yang ketiga adalah problem tata guna lahan. Ini terkait dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau catchment area juga daerah hulu dan hilir. Jadi, limpasan dari hulu masuk ke hilir DAS yang tidak dikelola dengan baik juga akan menimbulkan debit limpasan yang besar.
“Tapi, faktor ini masih perlu kajian. Beberapa tahun terakhir, Semarang cukup aman dari banjir. Karena banjirnya sekarang, saya tidak ingin menyebutkan faktor ini dominan. Karena kalau ini dominan maka harusnya setiap tahun banjir terus,” ucap Agung.
Terakhir, faktor manajeman sumber daya air. Ini menyangkut sungai, pengendali daya rusak air dan sarana dan prasarana seperti tanggul, dan pompa air.
“Semarang baru saja melakukan normalisasi sungai, kemudian sejumlah fasilitas juga dibangun. Tapi pada kasus ini, semua itu tidak mampu menahan hujan yang besar. Seharusnya itu dirancang mampu untuk mengalirkan semuanya,” terang Agung.
Terapkan Konsep Resilience City
Secara konsep kita harus menuju pada konsep pembangunan kota yang berketahanan atau resilience city yang disebut juga Kota Tangguh. Dalam konsep tersebut, kota harus mampu bertahan menghadapi guncangan dan tekanan akibat bencana.
Bencana pasti datang dan trennya meningkat karena perubahan iklim memicu perubahan hidrometerologi yang berakibat timbulnya potensi bencana. Sehingga yang dapat kita lakukan adalah menyiapkan diri baik pemerintah termasuk masyarakatnya untuk beradaptasi.
“Dalam adaptasi, kita harus melakukan mitigasi-mitigasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya, mitigasi itu termasuk mengendalikan air limpasan. Mulai dari daerah hulu sudah mulai dikendalikan, kemudian memberikan ruang-ruang untuk menampung air yang cukup seperti sungai di normalisasi, kemudian menyiapkan pompa air yang cukup,” tutur Agung.
Hidup di dalam kondisi yang penuh bencana memang mahal. Akan tetapi itu harus dilakukan supaya kota ini bisa dihuni dalam jangka panjang.
“Semarang sebenarnya sudah menginisiasi program resilience city. Tapi faktanya kita masih melihat bencana ini. Masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus dilakukan,” pungkas Agung. (BRN)