Dikeluhkan Wapres, HUD Institute Beri Masukan Program Hunian MBR

Muhammad Joni (Foto: Istimewa)
Jakarta – Lembaga Pengkajian Bidang Perumahan, Permukiman dan Pembangunan Perkotaan (LP P3) mengusulkan tujuh masukan guna mendorong penyediaan hunian Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Saran lembaga think tank yang dikenal The Housing and Urban Development (HUD) Institute, merespons pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin soal masih banyaknya problem di sektor perumahan rakyat.
“Tetapkan kebijakan perumahan rakyat sebagai Program Strategis Nasional, bukan semata hanya project. Itu beralasan karena amanat konstitusi Pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan urusan konkuren wajib kebutuhan dasar pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” tegas Sekretaris Jenderal The HUD Institute, Muhammad Joni kepada industriproperti.com, Rabu, 10 Februari 2021.
Sebelumnya, kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19 menuai beragam problem di sektor perumahan rakyat. Pemerintah bersikap terbuka menerima masukan guna percepatan penyediaan hunian layak bagi MBR (baca di sini).
Usulan berikutnya, lanjut Joni, memastikan penyediaan tanah untuk perumahan rakyat dalam skala besar. “Bank Tanah mesti secara eksplisit mengalokasikan tanah untuk perumahan rakyat. Bank Tanah sebagai land manager tidak menutup diri hanya di level pusat, bisa juga daerah karena objek dan penerima manfaat adalah rakyat di daerah,” ucap advokat yang mendalami bidang hukum pertanahan dan perumahan.
Di urutan ketiga masukannya, Joni minta Pemerintah memastikan penataan ruang untuk perumahan MBR dengan regulasi yang kokoh di semua daerah.
“Berikutnya, harmonisasi peran Pemerintah Daerah dalam urusan konkuren kebutuhan dasar perumahan rakyat. Pemerintah perlu mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah cq Lampiran D urusan konkuren perumahan rakyat,” kata Managing Partner Joni & Tanamas Law Office.
Untuk diketahui, UU Nomor 23/2014 telah diperbarui dengan terbitnya UU Nomor 9/2015 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Sayangnya UU Nomor 9/2015 hnya merivisi beberapa pasal tentang tugas Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan DPRD saja. Sedangkan urusan konkuren perihal perumahan masih mengacu UU Nomor 23/2014,” kata Joni.
Program Tapera
Pemerintah, lanjut Joni, perlu membentuk pembiayaan perumahan yang tidak berbasis komersial melainkan pembiayaan inovatif housing finance, termasuk pembiayaan skema syariah. “Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) tidak cukup kuat dan meluas scale up-nya,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 1992.
Joni berharap, operasionalisasi Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak tertunda. Tapi jangan pula tidak kompetitif, bahkan lebih mahal dari skim KPR FLPP. “Tapera bukan lebih fokus memupuk dana, tapi demi lebih banyak penerima manfaat. Ingat, Tapera adalah dana amanat, bukan dana komersial. Program Tapera adalah realisasi dari UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan amanat konstitusi hak bertempat tinggal dan hak konstitusi jaminan sosial,” tandas Wakil Ketua Bidang Publikasi dan Hubungan Masyarakat Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) periode 2015 – 2020.
Usulan keenam, harus ada kelembagaan yang kuat dan sistematis. Kelembagaan yang dia maksud berada di tingkat pusat maupun daerah, dan mencakup Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3). Selanjutnya Bank Tanah, Badan Pelaksana Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), serta bank pelaksana. “Jangan lupa keterlibatan aktif asosiasi pelaku pembangunan, pengelola, lembaga swadaya masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya,” cetus Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2002.
Terakhir, di posisi ketujuh, adalah perlindungan konsumen serta literasi MBR. “Kami berharap ketujuh poin itu menjadi masukan terkait problem penyediaan fasilitas hunian layak bagi MBR,” pungkas Tim Ahli Bidang Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (BRN)