REI Dorong Penyusunan Standar Sertifikasi Properti Hijau

0
126

JAKARTA – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) mendorong dilakukannya penyusunan standar bangunan hijau (green building) sebagai acuan sertifikasi agar insentif untuk pembiayaan properti hijau dapat segera dinikmati masyarakat. Standar sertifikasi akan memudahkan pemberian insentif termasuk dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan untuk pengembang yang menerapkan prinsip bisnis berkelanjutan berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG).

Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI, Ignesjz Kemalawarta menegaskan sertifikasi green building merupakan bentuk pertanggungjawaban green effort yang komprehensif. Sertifikasi menjadi identitas (labeling) bahwa bangunan atau properti itu sudah menerapkan konsep properti hijau. Kriteria yang dinilai itu tidak hanya pada aspek desain bangunan, penghematan energi dan air saja, tetapi juga hingga standar bahan material yang digunakan.

REI, ungkapnya, bekerjasama dengan Green Building Council Indonesia (GBCI) telah membuat daftar kriteria bangunan hijau dan tinggal menunggu pembahasan lebih lanjut dan persetujuan dari pemerintah. Standar sertifikasi ini nantinya akan menjadi acuan dan parameter yang kuat, mengingat GBCI merupakan lembaga yang telah diakui kompetensinya di bidang bangunan hijau, baik di Indonesia maupun di dunia.

Ignesjz menegaskan, REI dan GBCI sedang berupaya untuk dapat bertemu dengan pihak-pihak yang berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membahas standar sertifikasi bangunan atau properti hijau ini, termasuk nantinya standar rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

“Kami berharap bisa secepatnya bertemu dan dibahas dengan OJK,” kata Iqnesjz kepada Industriproperti.com.

Penerapan ESG di Indonesia diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. POJK ini mengikat seluruh pelaku sektor jasa keuangan untuk mendukung sistem keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Saat ini, ungkap Ignesjz, sudah banyak perusahaan atau emiten properti yang telah memperlihatkan upaya nyata untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan dengan membangun hunian yang hijau dan ramah lingkungan. Meski biayanya tinggi, tetapi komitmen tersebut tetap dilakukan. Demikian pula konsumen yang harus membayar lebih mahal untuk membeli produk properti berkonsep ramah lingkungan.

“Sayangnya, kesadaran itu belum mendapat dukungan keringanan pembiayaan dari lembaga jasa keuangan sesuai POJK Nomor 51/2017. Hal itu butuh dorongan tegas pemerintah terutama dari OJK agar perbankan mau merealisasikan aturan tersebut,” kata Ignesjz.

Harus Dua Arah

REI menilai pemerintah perlu menginisiasi pemberian insentif sebagai penyemangat kepada pengembang yang sudah menerapkan prinsip ESG. Selain itu, pemerintah perlu mengeluarkan data bahan-bahan material yang mengandung karbon.

“Kami pikir penerapan prinsip ESG dan properti hijau ini harus dilakukan bersamaan. Pengembang jalan, sembari ekosistem termasuk ketegasan aturannya juga dilakukan. Harus dua arah, jadi jangan pengembang jalan sendiri,” tegas Ignesjz.

REI berharap dengan adanya dukungan dari lembaga jasa keuangan terutama bank, maka insentif pembiayaan seperti keringanan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) untuk konsumen maupun bunga kredit modal kerja untuk pengembang dapat diwujudkan. Menurut Ignesjz, REI mengusulkan agar bunga kredit bank bisa diberikan 1,5%-2% di bawah besaran bunga pasar agar masyarakat semakin berminat membeli hunian hijau. (MRI)