Terbitnya aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah konstelasi aturan main dalam banyak sektor, termasuk juga dalam industri properti. Berangkat dari hal tersebut redaksi industriproperti.com akan membedah masing–masing regulasi turunan UU Cipta Kerja yang berkelindan dengan industri properti.
Jakarta – Ketentuan soal hunian berimbang adalah salah satu aturan yang berpengaruh dalam industri properti. Berdasarkan penelusuran redaksi industriproperti.com, aturan ini bermula dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat tahun 1992.
SKB Tiga Menteri itu menyebut pembangunan perumahan dan permukiman bertujuan mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah dengan perbandingan dan kriteria tertentu sehingga dapat menampung secara serasi antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial (Pasal 1).
Lebih lanjut, perbandingan yang dimaksud ialah dalam satu kawasan dan lingkungan perumahan terdapat satu rumah mewah, tiga rumah menengah, dan enam rumah sederhana. Dengan ketentuan luasan kaveling rumah mewah 600 m2 hingga 2.000 m2, rumah menengah 200 m2 – 600 m2, dan rumah sederhana 54 m2 – 200 m2.
Aturan ini kemudian berubah sejak terbitnya Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 (Permenpera 10/2012) tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang, yang kemudian direvisi lagi dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permenpera 10/2012.
Pada aturan tersebut, setiap pelaku pembangunan wajib membangun satu rumah mewah, dua rumah menengah, dan tiga rumah sederhana.
Dengan ketentuan definisi rumah yang tidak lagi berdasarkan luas kaveling, tetapi berdasarkan harga jual. Dimana rumah mewah adalah rumah komersial dengan harga jual lebih besar enam kali dari rumah sederhana, rumah menengah adalah rumah dengan harga jual satu sampai enam kali dari rumah sederhana, dan rumah sederhana adalah rumah umum yang dibangun dengan luas lantai dan harga jual sesuai dengan ketentuan pemerintah. Adapun rumah umum sesuai dengan aturan ini adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Aturan ini kemudian berubah lagi pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 (PP 12/2021) tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja.
Pada aturan baru ini, rumah mewah adalah rumah dengan harga jual diatas lima belas kali rumah umum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya, rumah menengah dengan harga jual tiga sampai dengan lima belas kali harga jual rumah umum, dan rumah sederhana atas rumah yang harga jualnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan (Pasal 21E PP 12/2021).
Yang baru juga, dalam aturan turunan UU Cipta Kerja ini rumah sederhana juga dibagi menjadi rumah sederhana subsidi dan rumah sederhana nonsubsidi, yang kemudian dikategorikan berdasarkan karakteristik kawasan perkotaan.
Untuk kawasan perkotaan besar, komposisi rumah sederhananya ialah 25% rumah sederhana subsidi dan 75% rumah sederhana nonsubsidi. Untuk kawasan perkotaan sedang, komposisi rumah sederhananya berupa 50% rumah sederhana subsidi dan 50% sisaya rumah sederhana nonsubsidi. Sedangkan komposisi rumah sederhana untuk kawasan perkotaan kecil ialah 75% rumah sederhana subsidi dan 25% rumah sederhana nonsubsidi.
Selain itu, dalam aturan turunan UU CIpta Kerja ini juga disebutkan bahwa badan hukum yang berkewajiban membangun hunian berimbang dapat bekerja sama dengan badan hukum lain (Pasal 21A PP 12/2021). (BRN)