Yuk Cermati Objek Tanah Telantar dalam PP Baru

0
2837
Hamparan Tanah, Ilustrasi Tanah Terlantar (Foto: ADH)

Terbitnya aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah konstelasi aturan main dalam banyak sektor, termasuk juga dalam industri properti. Berangkat dari hal tersebut redaksi industriproperti.com akan membedah masing–masing regulasi turunan UU Cipta Kerja yang berkelindan dengan industri properti.

Jakarta – “Bermula dari banyaknya tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak, dimana ada tercatat sekitar 5 juta Ha,  maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 (PP 11/2010) Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang memberi kewenangan kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk melakukan penertiban terhadap tanah terindikasi terlantar,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Shafik Ananta redaksi industriproperti.com, Senin 22 februari 2021.

“Seiring waktu dari data yang sebelumnya sekitar 5 juta Ha ternyata tidak semua termasuk tanah terindikasi terlantar, karena adanya kesalahan pada proses input data. Maka diadakan identifikasi ulang terhadap data tersebut dan hasilnya sekitar 958 ribu Ha yang clear and clean menjadi data awal tanah terindikasi terlantar,” pungkas Shafik menuturkan perkembangan tanah terlantar di Indonesia. Lebih lanjut lulusan Teknik Planologi ITB tersebut juga menuturkan bahwa sejak tahun 2010 sampai sekarang, ada target sekitar 10 ribu Ha setiap tahunnya menyelesaikan tanah terindikasi terlantar tersebut.

Terbitnya UU Cipta Kerja kemudian mengamanahkan untuk mengubah aturan tanah terlantar tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 (PP 20/2011) tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, kemudian terbit menggantikan PP 11/2010.

“Selain adanya amanat dalam UU Cipta Kerja, yang mana diamanatkan pendirian Bank Tanah dan Bank Tanah ini membutuhkan tanah dari tanah – tanah yang tidak dimanfaatkan, hal lain yang mendorong perubahan PP 11/2010 ini adalah bahwa PP Lama sudah diterapkan tetapi tidak efektif, tidak mencapai sasaran dari PP tersebut, yaitu bagaiamana tanah – tanah dapat dimanfaatkan oleh pemegang hak. Secara substansial juga banyak kelemahan dari PP lama yang ingin diperbaiki dalam PP baru ini. Yang kesemuanya ini pada intinya untuk menjawab empat aspek: pemanfaatan, kepastian hukum, keadilan pertanahan, dan kemakmuran,” pungkas Shafik yang saat ini juga tengah menjabat sebagai Plt. Direktur Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah, Kementerian ATR/BPN.

Berdasarkan penelusuran redaksi industriproperti.com, terdapat beberapa perubahan dalam aturan baru ini.

Bila pada PP 11/2010 objek tanah terlantar adalah tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya (Pasal 2 PP 11/2010).

Maka pada PP 20/2021 objek tanah terlantar adalah tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara (Pasal 5 PP 20/2021)

Adapun tidak termasuk unsur ‘sengaja’, yaitu bila Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan menjadi objek perkara di pengadilan, tidak dimanfaatkan akibat adanya perubahan rencana tata ruang, adanya keadaan kahar (force majeure), atau kawasan tersebut dinyatakan sebagai kawasan koservasi.

Pun definisi ‘tidak dipelihara’ ialah tidak dilaksanakannya fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Fungsi sosial yang dimaksud ialah bahwa setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib mempergunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, dan mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan (Penjelasan Ayat 4 PP 20/2021). (ADH)