Dinilai Salah Kaprah, Pengembang Minta Revisi Permen LHK Nomor 4/2021

Penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 4 Tahun 2021 dinilai memicu ekonomi biaya tinggi terhadap pembangunan hunian bersubsidi.
0
6470

Jakarta – Penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 4 Tahun 2021 dinilai memicu ekonomi biaya tinggi terhadap pembangunan hunian bersubsidi. Pengembang berharap agar aturan itu dapat menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

“Permen LHK 4/2021 itu sangat mengganggu. Harusnya, Permen LHK 4/2021 menyesuaikan dengan PP 64/2016. PP tersebut mempersyaratkan pengembangan lahan 0,5 hektare sampai 5 hektare, izinnya cukup dengan SPPL saja. Sedangkan lebih dari 5 hektare, baru menggunakan UKL-UPL,” tegas Ketua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPD REI) Kepulauan Riau, Toni kepada industriproperti.com via sambungan telepon seluler, Selasa, 22 Maret 2022.

Menurut Toni, potensi ekonomi biaya tinggi dari penerapan Permen LHK 4/2021 akibat adanya tarif yang berlaku dalam prosedur pengajuan UKL-UPL. “Untuk satu lokasi saja, biaya pengurusan UKL-UPL sekitar Rp 25 juta hingga Rp 100 juta. Nominal ini tentunya akan membebani pengembang rumah bersubsidi,” cetusnya.

Pemerintah harus menetapkan industri properti ini dikelompokkan kedalam KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang mana. Pintu masuknya adalah KBLI, pengelompokan industri ini ada di KBLI berapa supaya NIB (Nomor Induk Berusaha) bisa sesuai,” ucap Toni.

Pasalnya, pembangunan perumahan dan permukiman selama ini mengacu pada dua KBLI, yakni KBLI 68111 dan 41011. Badan Pusat Statistik (BPS) memang mengklasifikasikan sektor industri realestat kedalam dua KBLI tersebut. Untuk KBLI 68111, imbuh Toni, perizinannya tidak ada persoalan. “Mau luasnya 1.000 hektare sekalipun, persetujuan lingkungannya tetap akan terbit SPPL-nya,” ujar Toni.

Permen LHK Nomor 4/2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL). Lampiran beleid ini menyebut bahwa pembangunan rumah khusus dengan tipologi tapak seluas 28 m2 – 36 m2 lengkap dengan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) dengan luas areal minimal 3 hektare harus mengantongi UKL-UPL.

Problem OSS RBA

Toni melanjutkan, Permen LHK Nomor 4/2021 tidak mengenal KBLI 68111. “Untuk KBLI yang tidak ada di Lampiran I, memang termuat dalam Lampiran 2 Permen LHK 4/2021 tentang multisektor. Lampiran ini menjelaskan bahwa luas lahan terbangun kurang dari 1 hektare menggunakan SPPL. Sedangkan lebih dari 1 hektare tetap menggunakan UKL-UPL,” ucap Toni.

Sekretaris DPD REI Jawa Tengah, Andi Kurniawan menyatakan, Permen LHK 4/2021 tidak sejalan dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui sistem Online Single Submission Risk-Base Approach (OSS RBA).

“Dari sisi KBLI-nya saja sudah tidak sesuai. Dalam OSS RBA, pembangunan perumahan masuk kelompok KBLI 68111. Sedangkan pada Permen LHK Nomor 4/2021, pembangunan perumahan bersubsidi tapak masuk kedalam KBLI 41011. Itu saja sudah tidak sesuai, tapi tetap dipaksakan,” tegas Andi.

Andi menyatakan, pemberlakuan Permen LHK 4/2021 membuat Pemerintah Daerah (Pemda) kebingungan dalam menentukan bentuk persetujuan lingkungan apakah SPPL, UKL-UPL, ataupun amdal. “Hal ini terjadi karena Pemda gagal paham tentang KBLI realestat,” cetus Andi.

Ironisnya lagi, Dinas Lingkungan Hidup di daerah tidak ingin mengambil risiko atas kekeliruan tersebut. “Dalam masa transisi aturan ini, mereka lebih memilih ambil posisi aman saja. Sehingga mereka tetap menggunakan Permen LHK 4/2021 sebagai acuan,” tukasnya. (BRN)